Selasa, 29 Maret 2011

berfirman Tuhan kepada Nabi Muhammad
dengan para sahabat pengembang agama
mendengar fitnah dari sana sini
umpat dan caci susah sekali
kaum muslimin dan para sahabat
beserta nabi Muhammad satu perjuangan
orang kafir memandang Nabi Muhammad
beserta para sahabat susah tak punya harta


pada galibnya Islam tidaklah menang
kaum muslim hanya satu dua
orang kafir percaya pada kekuatan
padahal kebenaran padanya tak ada
kaum Muslimin di pihak yang benar
itulah Al Kautsar jiwa agama
tikat yang benar akan diuji
dengan dengki dan kaya raya



harta dicari dengan iktikat yang benar
itulah kautsar pengembang agama

Minggu, 27 Maret 2011

Sabtu, 26 Maret 2011



Mozaik 1
Lelaki Penyayang

Syalimah Gembira karena suaminya mengatakan akan memberinya hadiah  kejutan. Syalimah tak tahan.
            “aih, janganlah bersenda gurau, Pak Cik. Kita ini orang miskin. Orang miskin tak kenal kejutan.
            Mereka tersenyum.
            “kejutan- kejutan begitu, kebiasaan orang kaya. Orang macam kita, ni ? Saban hari terkejut. Datanglah ke pasar kalau pak cik tak percaya.”
            Suaminya- Zamzami – tahu benar maksud istrinya. Harga- harga selalu membuat mereka terperanjat.
            “telah lama kau minta,” kata suaminya dengan lembut.
            Syalimah kian ingin tahu. Waktu mengantar suaminya ke pekarangan dan menyampirkan bungkus rantang bekal makanan di setang sepeda, ia bertanya lagi, Zamzami tetap tak menjawab.
            “sudah bertahun- tahun kau inginkan, baru bisa kubelikan sekarang, maaf.”
            Zamzami meninggalkan pekarangan, namun kembali. Ia mengatakan ingin mengajak Syalimah melihat- lihat bendungan.
            “apa Yahnong takkan bekerja?”
            Yahnong, singkatan untuk ayah bagi anak tertua mereka, Enong. Kebiasaan orang Melayu menyatakan sayang pada anak tertua dengan menggabungkan nama ayah dan nama anak tertua itu.
            “sudah lama aku tak memboncengmu naik sepeda”
            Bendungan itu tak jauh dari rumah mereka. Dulu dipakai Belanda untuk membendung aliran anak- anak Sungai Linggang agar kapal keruk dapat beroperasi. Sampai disana mereka hanya diam memandangi permukaan danau yang tenang. Tak bicara, seperti mereka dulu sering bertemu di sini.
            Mereka pulang. Zamzami berangkat kerja. Syalimah tak memikirkan soal kejutan itu. Ia bahkan lupa pernah meminta apa pada suaminya. Delapan belas tahun mereka telah berumah tangga, baru kali ini suaminya akan memberi kejutan. Semua hal, dalam keluarga mereka yang sederhana, amat gampang diduga. Penghasilan beberapa ribu rupiah mendulang timah, cukup untuk membeli beras beberapa kilogram, untuk menyambung hidup beberapa hari. Semuany difahami Syalimah di luar kepala. Tak ada rahasia, tak ada yang tak biasa, dan tak ada harapan muluk- muluk. Tahu- tahu, macam bakung berbunga di musim kemarau, suaminya ingin memberinya kejutan.
            Syalimah dan Zamzami berjumpa waktu pengajian ketika mereka masih remaja. Zamzami yang pemalu, begitu pula Syalimah, menyimpan rasa suka diam- diam. Zamzami tak pernah berani mengatakan maksud hatinya, dan Syalimah takut menempatkan dirinya pada suatu keadaan sehingga lelaki lugu itu dapat mendekatinya.
            Namun, lirikan curi- curi di tengah keramaian itu kian hari kian tak tertahankan. Zamzami mengurangi kecepatannya menambah juz mengaji, padahal ia membaca Alqur’an lebih baik daripada ia membaca huruf latin. Tujuannya agar semakin lama berada dalam kelas yang sama dengan Syalimah. Berulang kali ditanyakannya pada ustaz hal- hal yang ia sudah tahu. Dibentak bebal ia tersenyum sambil menunduk. Sedangkan Syalimah, berpura-pura bodoh membaca tajwid, dimarahi ustaz, biarlah. Maksudnya serupa dengan maksud Zamzami. Semua taktik yang merugikan diri sendiri itu, jika boleh disebut cinta, itulah cinta.
            Sungguh indah, atas saran ustaz- lantaran mencium gelagat yang tak beres antara dua murid mengaji yang tak tahu cara mengungkapkan cinta itu- mereka malah dijodohkan orangtua masing- masing.
            Sejak mengenal Zamzami, Syalimah tahu ia akan bahagia hidup bersama lelaki itu, meski, ia juga mafhum, ada satu hal yang harus ia hindari : minta dibelikan apapun sebab lelaki baik hati yang dicintainya itu hanyalah lelaki miskin yang berasal dari keluarga pendulang timah. Namun Syalimah tak perlu dibelikan harta benda sebab Zamzami adalah harta yang paling berharga, melebihi segalanya. Lelaki itu amat penyayang pada keluarga sehingga Syalimah tak memerlukan harta apapun lagi di dunia ini.
            Menjelang tengah hari, sebuah mobil pikap berhenti di depan rumah. Dua lelaki mengangkat benda yang dibungkus terpal dari bak mobil itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Syalimah bertanya- tanya mereka tak mau menjawab.
            “malam ini ada pasar malam di Manggar, Mak Cik.” Kata salah satu lelaki itu sambil tersenyum.
            Syalimah memandangi benda itu dengan gugup, tapi gembira. Pasti benda itu yang dimaksud suaminya dengan ­kejutan. Rupanya sungguh luar biasa pengaruh sebuah kejutan. Kucing- kucingnya yang lucu melingkari benda itu, menggodanya untuk mendekat. Syalimah melangkah maju, namun di tengah jalan, ia ragu. Ia kembali ke ambang pintu.
            Syalimah menertawakan kelakuannya sendiri karena keranjingan menikmati sensasi sebuah kejutan. Lalu, ia berpikir, kejutan itu tak sanggup ia atasi dan terlalu indah untuk dinikmati sendiri. Ia akan menunggu Enong, putri tertuanya itu, pulang dari sekolah. Mereka akan menikmati kejutan itu berdua. Tentu akan sangat menyenangkan.
            Namun, Syalimah tak tahan untuk segera tahu apa yang dibelikan suaminta untuknya, sedangkan Enong baru akan pulang sore nanti. Sesekali ia melongok ke arah benda yang misterius itu. Ia memberanikan diri dan melangkah pelan mendekatinya. Di depan benda itu jantungnya berdebar- debar. Ia memejamkan mata dan menarik terpal. Ia membuka matanya dan terkejut tak kepalang melihat sesuatu berkilauan : sepeda Sim King made in RRC!
            Syalimah terhenyak. Ia tak menyangka sepeda itu dihadiahkan Zamzami untuknya sebagai kejutan. Bukan hanya karena sepeda itu akan menjadi benda paling mahal di rumah mereka, melainkan karena ia memintanya hampir empat tahun silam. Itupun sesungguhnya bukan meminta. Waktu mengandung anak bungsunya, ia berkisah pada Zamzami, betapa dulu ia bahagia sering dibonceng almarhum ayahnya naik sepeda ke pasar malam, dan disana dibelikan balon gas.
            “Kalau anak ini lahir,” kata Syalimah bercanda. ”Sepeda itu tak cukup lagi untuk membonceng anak- anak ke pasar malam.” Karena anak mereka akan menjadi empat, sedangkan mereka hanya punya dua sepeda reyot.
            Syalimah tak dapat menahan air matanya. Ia terharu mengenang suaminya telah menyimpan percakapan itu selama bertahun- tahun dan memegannya sebagai sebuah permintaan. Betapa baik hati lelaki itu. Lalu, Syalimah terisak begitu teringat bahwa hari itu Sabtu dan malam nanti ada pasar malam di Manggar. Kini ia paham maksud lelaki yang mengantarkan sepeda itu. Suaminya pasti merencanakan berangkat sekeluarga naik sepeda ke pasar malam, seperti dulu ayah Syalimah selalu memboncengnya naik sepeda ke pasar malam.
            Selanjutnya, Syalimah hilir mudik di dapur menghitung bagaimana membagi anak- anaknya pada tiga sepeda. Sang ayah, satu- satunya lelaki di dalam keluarga, berarti yang paling kuat, akan membeonceng keranjang pempang dan di dalamnya akan dimasukkan si nomor dua, gadis kecil yang bongsor itu.
            Si nomor tiga, yang cerewet, akan dibonceng oleh kakaknya, Enong, dan si bungsu akan dibonceng Ibu, naik sepeda baru Sim King made in RRC, hadiah kejutan itu. Tak terperikan bahagianya perjalanan ke pasar malam nanti. Meski telah menetapkan pengaturan pembagian sepeda, Syalimah berulang kali menghitungnya di dalam hati, karena perhitungan itu menimbulkan perasaan indah dalam hatinya.
            Kemudian Syalimah tak sabar menunggu suaminya pulang. Ia berdiri di ambang jendela, tak lepas memandangi langit yang mendung dan ujung jalan yang kosong ia ingin segera melihat suaminya berbelok di pertigaan di ujung jalan sana, pulang menuju rumah. Ia akan menyongsongnya di pekarangan dan mengatakan betapa indahnya sebuah kejutan. Ia mau mengatakan pula bahwa mulai saat itu mereka harus lebih sering memberi kejutan karena kejutan ternyata indah.
            Syalimah gembira melihat seseorang bersepeda dengan cepat. Jika orang itu-Sirun- telah pulang, pasti suaminya segera pula pulang. Namun, sirun berbelok menuju rumah Syalimah dengan tergesa- gesa. Buruh kasar itu langsung masuk dan dengan gemetar mengatakan telah terjadi kecelakaan. Zamzami tertimbun tanah. Syalimah terpaku di tempatnya berdiri. Napasnya tercekat. Ia tak bisa berbuat apa- apa. Sirun memintanya menitipkan anak- anaknya kepada tetangga dan mengajaknya ikut ke tambang.
            Sampai disana, Syalimah melihat orang berteriak- teriak panik dan menggunakan alat apa saja untuk menggali tanah yang menimbun Zamzami. Para penambang yang tak punya cangkul menggali dengan tangannya, secepat- cepatnya. Syalimah berlari dan bergabung dengan mereka. Ia menggali tanah dengan tangannya sambil tersedak- sedak memanggil suaminya. Keadaan menjadi semakin sulit karena hujan turun. Tanah yang sedang menimbun Zamzami berubah menjadi lumpur. Para penambang berebut dengan waktu. Jika terlambat Zamzami pasti tak tertolongdan Zamzami mulai memasuki saat- saat tak tertolong itu. Syalimah menggali seperti orang lupa diri sambil menangis, sampai berdarah ujung- ujung jarinya. Ia berdoa agar Zamzami tertimbun dalam keadaan tertelungkup. Penambang yang tertimbun dalam keadaan tertentang tak pernah dapat diselamatkan. Galian semakin dalam, Zamzami belum tampak juga. Tiba- tiba Syalimah melihat sesuatu. Ia menjerit.
            “ini tangannya!  ini tangannya!”
            Orang- orang menghambur ke arah tangan itu. Syalimah gemetar karena tangan yang menjulur itu terbuka. Suaminya telah tertimbun dalam keadaan telentang. Para penambang cepat- cepat menarik Zamzami. Ketika berhasil ditarik, lelaki kurus itu tampak seperti tak bertulang. Tubuhnya telah patah. Pakaiannya compang- camping menyedihkan. Zamzami diam tak bergerak. Semuany telah terlambat.
            Syalimah tersedu- sedan. Ia bersimpuh di samping Zamzami yang telah mati. Ia mengangkat kepala suaminya ke atas pangkuannya. Kepala itu terkulai seperti ingin bersandar. Syalimah membasuh wajah Zamzami dengan air hujan, lalu tampak seraut wajah yang pias dan sepasang mata yang lugu. Syalimah mendekap lelaki penyayang itu kuat-kuat. Ia meratap- ratap memanggil- manggil suaminya.


Mozaik  2
Bahasa Inggris

SELAIN MENGGABUNGKAN nama ayah dan nama anak tertua, orang melayu udik biasa menamai anak dengan bunyi senada seirama. Jika nama anak tertua Murad, misalnya, tujuh orang adik di bawahnya Munzir, Muntaha, Munawaroh, Mun’im, dan Munmun. Lantaran anak sangat banyak, hal itu kerap menimbulkan kekacauan. Seringkali nama- nama itu tertukar. Dalam keadaan panik, umpama, salah satu anak menyiramkan minyak tanah pada kambing yang akan dikurbankan pada hari raya Idul Adha, dalam rangka membuat obor- ini berdasarkan pengalaman pribadiku- ibunya hanya bisa berteriak- teriak histeris, “Mun! Mun! Mun!” sambil berpikir keras mengingat- ingat Mun yang mana yang berkelakuan macam setan itu.
            Ajaibnya budaya. Selidik punya selidik, ternyata hubungan awal nama anak tak sering ada hubungannya dengan huruf awal nama ayah-ibunya. Artinya, huruf awal itu dipilih secara random saja sesuai suasana hati. Maka dapat disimpulkan, bagi orang Melayu kampung, kekacauan itu disengaja dan merupakan bagian dari seni punya anak banyak, serta merupakan bagian dari kasih sayang nan tak terperikan pada anak- anak yang berderet-deret macam pagar itu.
            Lalu, ada pula kebiasaan yang unik. Anak muda sering dipanggil Boi. Ini tak ada hubungannya dengan Boydalam bahasa Inggris sebab anak perempuan pun sering dipanggil Boi . Namun,  Enong adalah kisah yang berbeda. Enong adalah panggilan sayang untuk anak perempuan. Begitulah cara Zamzami memanggil anak tertuanya.
            Enong duduk di kelas enam SD dan merupakan siswa yang cerda. Sejak kelas satu, ia selalu menjadi juara kelas. Pelajaran pavoritnya adalah bahasa Inggris dan cita- citany ingin menjadi guru seperti Bu Nizam.
            Ibu Nizam, guru senior dari Pematang Siantar. Puluhan tahun lampau, ia ditempatkan pemerintah untuk mengajar di kampung kami. Ia sangat dihormati karena keberaniannya merantau demikian jauh dalam usia yang sangat muda, demi pendidikan. Dialah guru bahasa Inggris pertama di kampung kami.
            Zamzami amat bangga dengan cita- cita Enong. Ia Enong mendapat kesempatan pendidikan setinggi- tingginya. Sekolah Enong adalah nomor satu baginya. Selelah apapun bekerja, ia tak pernah lupa menjemput Enong. Sering Zamzami bercerita pada Sirun.
            “Run, dapatkah kau bayangkan, anakku mau menjadi guru sebuah bahasa dari Barat?”
            Sirun takjub
            “kita ini, Run, bahasa Indonesia pun tak lancar.”
            “Bahasa dari Barat? Bukan main, Bang, bukan main.”
            Kemungkinan menjadi gurudari sebuah bahasa yang asing dari Barat itu pula yang membuat Zamzami tak pernah mengeluh meski harus bekerja membanting tulang seperti kuda beban. Ia berusaha memenuhi apa pun yang diperlukan Enong untuk cita- cita hebatnya itu.
            Zamzami sering mendengar Enong berbicara soal kamus bahasa Inggris. Dari nada suaranya, ia tahu putrinya ingin sekali punya kamus. Sebaliknya, meskipun masih kecil, Enong paham ayahnya miskin. Ia tak pernah minta dibelikan kamus, tak pernah minta dibelikan apapun.
            Zamzami sendiri pernah melihat kamus yang hebat di pedagang buku bekas kaki lima Tanjung Pandan. Kamus itu adalah Kamus Satu Miliar kata. Sejak melihat kamus itu dan mengenang keingingan putrinya, membeli kamus telah menjadi impian Zamzami dari hari ke hari. Ia bekerja lebih keras di ladang tambang dan menambah penghasilan dengan berjualan air nira setiap ada pertunjukkan orkes Melayu. Hari Sabtu ia ke laut mencari kerang untuk dijual di pasar ikan. Hari minggu ia berjualan tebu yang ditusuk dengan lidi. Setelah berbulan- bulan seperti itu dan memfokuskan pikirannya hanya untuk membeli kamus bahasa Inggris untuk anaknya, akhirnya Zamzami punya uang lebih. Dengan gembira ia sampaikan kepada putrinya.
            “mulai sekarang, jangan cemas lagi, Nong, Ayah akan belikan kamus untukmu. Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata!”
            Enong terbelalak.
            “sati miliar?” napas tertahan.
            “iya, Nong, tak kurang dari satu miliar kata!”
            Enong tertegun. Wajahnya pucat pasi. Ia terpana karena akan segera punya kamus dan karena kamus itu berisi satu miliar kata! Lalu, ia saling menyentuh ujung- ujung jarinya dan mulutnya komat- kamit menghitung jumlah nol dalam satu miliar.
            “satu miliar itu banyak sekali, Nong. Ayah pun tak tahu berapa jumlah nolnya. Tujuh belas barangkali”
            Enong masih tetap tertegun. Mulutnya masih komat- kamit dan jarinya masih sibuk menghitung jumlah nol dalam angka satu miliar.
Esoknya, mata Enong merah. Zamzami tahu, anaknya pasti tak bisa tidur karena terus- menerus membayangkan kamus itu. Maka, tanpa ambil tempo, ia segera mengajak Sirun ke Tanjong Pandan. Mereka bersepeda hampir seratus kilometer.
            Senangnya Zamzami mendapati kamus yang dilihatnya dulu masih ada di pedagang kaki lima buku bekas. Terbayang sinar mata anaknya saat menerima kamus itu. Ia menimang- nimangnya dan terkagum- kagum pada tulisan disampulnya Kamus Bahasa inggris Satu Miliar 1.000.000.000 Kata. Diikutinya pelan- pelan jumlah nol itu. Baru ia tahu bahwa jumlah nol dalam satu miliar ada sembilan.
            Zamzami sempat heran melihat kamus itu ternyata ringan dan tipis saja. Padahal,, isinya satu miliar kata. Jiwanya yang lugu berkata, mungkin yang dimaksud pengarang buku itu bukan kata, tapi huruf. Pengarangnya mungkin salah tulis, seharusnya satu miliar huruf. Tapi, andaikata jumlah huruf pun masih tetaplah buku itu terlalu tipis. Sekali lagi hatinya yang putih tetap saja membela penyusun kamus itu, Drs. Ir. Siapa, M.B.A., B.A., yang sama sekali tak dikenalnya.
            “kurasa buku ini macam buku Kho Phing Hoo, Run,”katanya pada Sirun.
            “ini pasti baru jilid satu. Nanti kalau sudah lengkap empat puluh delapan jilid, barulah jumlah katanya tergapai satu miliar. Macam mana pendapatmu, Run?”
            “kemungkinan besar, Bang.”
            Jika menyangkut buku, Sirun serupa tikus mendengar pembicaraan ayam. Gelap, soal begitu, ia akan percaya pada apa pun yang dikatakan oleh siapa pun sebab ia tak pernah sekolah.
            “tak apalah, berarti aku masih harus menabung. Bukan begitu, Run?”
            Zamzami malah senang karena akan memiliki 48 jilid kamus. Baginya, kamus- kamus itu dapat menjadi koleksi yang berharga. Mungkin pula ia berpikir, semakin banyak ia dapat membelikannya anaknya kamus, semakin anaknya akan senang. Ia juga kagum pada orang yang mampu membuat kamus. Ia menatap gelar deretean gelar sarjana Drs. Siapa yang menyusun kamus itu sambil membayangkan anaknya menjadi guru bahasa Inggris.
            “Enong bisa menjadi guru bahasa Inggris yang baik dengan kamus ini, Run.”
            Sirun mengangguk- angguk dengan Khidmat.
            “kemungkinan besar, Bang.”
            Pedagang buku bekas kaki lima tertarik melihat semangat Zamzami, yang tampak seperti baru menemukan benda ajaib. Ia bertanya, mengapa begitu riang?
            “Buku ini untuk anakku, Pak Cik.”
            “berarti hadiah untuk anak. Biar lebih berkesan, orang di kota biasa menulis sesuatu di halaman muka. Tanda tangan, ucapan salam, ucapan selamat ulang tahun, atau apa saja.”
            “begitukah?”
            “anak perempuankah?”
            “Iya, Pak Cik, sudah kelas enam.”
            “Elok kalau disampuli pakai kertas kado yang cantik. Anak perempuan akan senang hatinya.”
            Mata Zamzami berbinar- binar. Ia pergi sebentar, lalu kembali mebawa kertas kado dan menyampulinya di depan pedagang kaki lima itu. Kemudian, dia minta diajaei cara menulis ucapan di halaman muka itu. Setelah berunding cukup lama, ia menemukan kalimat yang ingin ditulisnya. Ia mengukirnya dengan pena, kata demi kata.
            Sementara itu, Enong hilir mudik di beranda menunggu ayahnya kembali dari Tanjong Pandan. Seharian ia tak enak makan karena piirannya tak dapat lepas dari Kamus Satu Miliar Kata itu. Ketika ayahnya tiba, ia menyongsongnya di pekarangan. Ia melonjak- lonjak senang menerima kamus itu.
            “ini baru jilid satu, Nong. Nanti kalau ada sambungannya Ayah beli lagi,” kata ayahnya sambil menyeka keringat.
            Zamzami pun gembira karena pendapat pedagang buku bekas kaki lima itu semuanya benar. Enong berulang kali memuji indahnya sampul kamus itu. Zamzami mengatakan bahwa ia sendiri yang memilih kertas sampul itu dan ada tulisan untuk Enong di halaman muka. Enong membukanya dan menemukan tulisan itu. Ia membacanya
            Buku ini untuk anakku, Enong.
            Kamus satu miliar kata.
            Cukuplah untuk bisa menjadi guru bahasa Inggris
Seperti Ibu Nizam.
Kejarlah cita- citamu, jangan menyerah, semoga sukses.
Tertanda
Ayahmu
           
            Enong terdiam, lalu ia menangis untuk sebuah alasan yang ia tidak mengerti.

Sumber : Novel Dwilogi Padang Bulan (Karya Andrea Hirata)

Jumat, 25 Maret 2011

Gurindam I

Ini gurindam pasal yang pertama:
Barang siapa tiada memegang agama,
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang yang ma'rifat
Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri.
Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang teperdaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah Ia dunia mudarat.

Gurindam II

Ini gurindam pasal yang kedua:
Barang siapa mengenal yang tersebut,
tahulah ia makna takut.
Barang siapa meninggalkan sembahyang,
seperti rumah tiada bertiang.
Barang siapa meninggalkan puasa,
tidaklah mendapat dua termasa.
Barang siapa meninggalkan zakat,
tiadalah hartanya beroleh berkat.
Barang siapa meninggalkan haji,
tiadalah ia menyempurnakan janji.

Gurindam III

Ini gurindam pasal yang ketiga:
Apabila terpelihara mata,
sedikitlah cita-cita.
Apabila terpelihara kuping,
khabar yang jahat tiadaiah damping.
Apabila terpelihara lidah,
niscaya dapat daripadanya paedah.
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan,
daripada segala berat dan ringan.
Apabila perut terlalu penuh,
keluarlah fi'il yang tiada senunuh.
Anggota tengah hendaklah ingat,
di situlah banyak orang yang hilang semangat
Hendaklah peliharakan kaki,
daripada berjaian yang membawa rugi.

Gurindam IV

Ini gurindam pasal yang keempat:
Hail kerajaan di daiam tubuh,
jikalau lalim segala anggotapun rubuh.
Apabila dengki sudah bertanah,
datanglah daripadanya beberapa anak panah.
Mengumpat dan memuji hendaklah pikir,
di situlah banyak orang yang tergelincir.
Pekerjaan marah jangan dibela,
nanti hilang akal di kepala.
Jika sedikitpun berbuat bohong,
boleh diumpamakan mulutnya itu pekong.
Tanda orang yang amat celaka,
aib dirinya tiada ia sangka.
Bakhil jangan diberi singgah,
itupun perampok yang amat gagah.
Barang siapa yang sudah besar,
janganlah kelakuannya membuat kasar.
Barang siapa perkataan kotor,
mulutnya itu umpama ketur2.
Di mana tahu salah diri,
jika tidak orang lain yang berperi.

Gurindam V

Ini gurindam pasal yang kelima:
Jika hendak mengenai orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa,
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu,
bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal,
di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.

Gurindam VI

Ini gurindam pasal yang keenam:
Cahari olehmu akan sahabat,
yang boleh dijadikan obat.
Cahari olehmu akan guru,
yang boleh tahukan tiap seteru.
Cahari olehmu akan isteri,
yang boleh dimenyerahkan diri.
Cahari olehmu akan kawan,
pilih segala orang yang setiawan.
Cahari olehmu akan abdi,
yang ada baik sedikit budi,

Gurindam VII

Ini Gurindam pasal yang ketujuh:
Apabila banyak berkata-kata,
di situlah jalan masuk dusta.
Apabila banyak berlebih-lebihan suka,
itulah landa hampirkan duka.
Apabila kita kurang siasat,
itulah tanda pekerjaan hendak sesat.
Apabila anak tidak dilatih,
I'ika besar bapanya letih.
Apabila banyak mencela orang,
itulah tanda dirinya kurang.
Apabila orang yang banyak tidur,
sia-sia sahajalah umur.
Apabila mendengar akan khabar,
menerimanya itu hendaklah sabar.
Apabila menengar akan aduan,
membicarakannya itu hendaklah cemburuan.
Apabila perkataan yang lemah-lembut,
lekaslah segala orang mengikut.
Apabila perkataan yang amat kasar,
lekaslah orang sekalian gusar.
Apabila pekerjaan yang amat benar,
tidak boleh orang berbuat onar.

Gurindam VIII

Ini gurindam pasal yang kedelapan:
Barang siapa khianat akan dirinya,
apalagi kepada lainnya.
Kepada dirinya ia aniaya,
orang itu jangan engkau percaya.
Lidah yang suka membenarkan dirinya,
daripada yang lain dapat kesalahannya.
Daripada memuji diri hendaklah sabar,
biar dan pada orang datangnya khabar.
Orang yang suka menampakkan jasa,
setengah daripada syarik mengaku kuasa.
Kejahatan diri sembunyikan,
kebalikan diri diamkan.
Keaiban orang jangan dibuka,
keaiban diri hendaklah sangka.

Gurindam IX

Ini gurindam pasal yang kesembilan:
Tahu pekerjaan tak baik,
tetapi dikerjakan,
bukannya manusia yaituiah syaitan.
Kejahatan seorang perempuan tua,
itulah iblis punya penggawa.
Kepada segaia hamba-hamba raja,
di situlah syaitan tempatnya manja.
Kebanyakan orang yang muda-muda,
di situlah syaitan tempat berkuda.
Perkumpulan laki-laki dengan perempuan,
di situlah syaitan punya jamuan.
Adapun orang tua yang hemat,
syaitan tak suka membuat sahabat
Jika orang muda kuat berguru,
dengan syaitan jadi berseteru.

Gurindam X

Ini gurindam pasal yang kesepuluh:
Dengan bapa jangan durhaka,
supaya Allah tidak murka.
Dengan ibu hendaklah hormat,
supaya badan dapat selamat.
Dengan anak janganlah lalai,
supaya boleh naik ke tengah balai.
Dengan isteri dan gundik janganlah alpa,
supaya kemaluan jangan menerpa.
Dengan kawan hendaklah adil supaya tangannya jadi kafill.

Gurindam XI

Ini gurindam pasal yang kesebelas:
Hendaklah berjasa,
kepada yang sebangsa.
Hendaklah jadi kepala,
buang perangai yang cela.
Hendaklah memegang amanat,
buanglah khianat.
Hendak marah,
dahulukan hajat.
Hendak dimulai,
jangan melalui.
Hendak ramai,
murahkan perangai.

Gurindam XII

Ini gurindam pasal yang kedua belas:
Raja muafakat dengan menteri,
seperti kebun berpagarkan duri.
Betul hati kepada raja,
tanda jadi sebarang kerja.
Hukum adil atas rakyat,
tanda raja beroleh anayat.
Kasihan orang yang berilmu,
tanda rahmat atas dirimu.
Hormat akan orang yang pandai,
tanda mengenal kasa dan cindai.
Ingatkan dirinya mati,
itulah asal berbuat bakti.
Akhirat itu terlalu nyata,
kepada hati yang tidak buta.

dikutip dari : http://id.wikisource.org/wiki/Gurindam_Dua_Belas
ANDREA HIRATA : Novelis Indonesia Menuju Pentas Sastra Dunia
(Catatan tentang Tetralogi Laskar Pelangi dan Dwilogi Padang Bulan.
Wawancara dengan Evelyin Lee dan Peter Sternagel)
Sebelum Andrea Hirata menerbitkan novel Laskar Pelangi (2006), sulit dibayangkan sebelumnya, di Indonesia, jutaan orang akan membaca sebuah novel. Laskar Pelangi telah beredar jutaan copy dan seorang mahasiswa yang melakukan penelitian untuk sebuah tesis memperkirakan tidak kurang dari 12 juta copy novel itu telah beredar secara tidak resmi (Pirated Copies). Ketika novel tersebut diadaptasikan menjadi film, jumlah audience juga memecahkan rekor dalam sejarah film Indonesia dan telah mendapatkan sepuluh penghargaan internasional.
            Laskar Pelangi adalah novel pertama Tetralogi Laskar Pelangi yaitu Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Pada 23 Maret 2010 telah ditandantangani Publisher Agreement antara Penerbit Bentang Pustaka dengan Amer-Asia Books, Inc, Tucson, Arizona, USA. Peristiwa ini bukan hanya penting bagi Andrea Hiratan, namun juga tonggak bagi perkembangan buku Indonesia. Karena barangkali ini untuk pertama kali penulis Indonesia direpresentasikan oleh agen buku komersial internasionalsehingga karya Andrea Hirata dapat tersedia di luar Indonesia dan berkompetisi dalam industri buku global. Agreement  Itu sekaligus menempatkan Andrea Hirata di dalam peta novelis dunia. Penerbit Yillin Press, China dan Penerbit Nha Nam Publishing and Communications, Vietnam akan mendistibusikan Laskar Pelangi dalam bahasa masing- masing, yang segera disusul dengan kerjasama dengan Uni Agency, sebuah literary agent terkemuka di Jepang, dan penerbi- penerbit di Amerika, Jerman, Prancis, Korea, serta beberapa negara Asia dan eropa lainnya. Novel The Rainbow Troop (edisi internasional Laskar Pelangi) sendiri mendapat sambutan hangat di berbagai festival di luar negeri (Fukuoka, Vancouver, Singapura, dan Wordstorm- Australia).
            Diwawancarai tentang alasan ketertarikan agen buku internasional akan Tetralogi Laskar Pelangi (The Ranbow Troop Quartet), kapasitas tulisan Andrea, dan peluangnya untuk pembaca global, Evelyn Lee, Solicitor karya sastra berpengalaman dari Amer-Asia Books menjawab :
I am very, very enthusiastic about representing Andrea’s works. Of course, till now, the only one of his books that we have read is The Rainbow Troop, but i expect the following ones to be just as great. The can not help but feel strongly about the character, their stuggles & hopes, and then particularly foreign readers can get an understanding and felling for the problem brougth to Indonesia by foreign countries. I do think, however that there will be greater reception of the books in some countries than in others. Also, rigth now, with people in so many countries having their own problems such as loss job & money, we are finding that many readers just want”thrillers” and police procedurals-perhaps just so they can forget their problems for a little while. We have been in contact with a number publishers in the U.S & it is appearing to us that we will probably make a sale to one of the so-called “Literary publisher” who are seeking books of true worth & quality rather than the thrillers that many big publisher concentrate on. We are, however, convinced that there is market here & also a much stronger market in many other countries, paricularly Europe. We have started marketing in Asia, but think that we should have sales in 20 countries where we do most of our work & that this should lead to further sales. Having just started, we have already completed sales to the large. Well known Yillin Press in China that’s done many best-selling U.S books & to Nha Nam in Vietnam.
            Peter Sternaged yang saat ini sedang menerjemahkan Laskar Pelangi ke dalam bahasa Jerman berpendapat :
Up to now from all the books Andrea wrote I only know to novel Laskar Pelangi, which I happen to tanslate right now. I like this book very much, because of the great variety of the scenes, situations and the characters Andrea present us in this text. In general Andrea’s stories are full humor, he is great in describing different personalities, knows how to create tension in his stories, he is an excellent observer of people, environment and nature, anyway, he is a great storyteller, but from time to time he likes redudancy or would exaggrate a little bit, so one has to curb him. To be Frank, literature from Indonesia- is not so popularity in Germany, would not attract so many readers. You will probably find the same situation in other European countries, may be except Netherlands. Of course I hope with Andrea Hirata it will become different.
Tetralogi Laskar Pelangi diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh penerjemah Amerika : Angie Kilbante dan John Colombo. Penerjemahan dilakukan sedemikian rupa sehingga edisi bahasa Inggris ini dapat dibaca dengan mudah oleh pembaca Indonesia, terutama para siswa, untuk kajian ilmiah budaya, bahkan untuk referensi belajar bahasa Inggris. The Rainbow Troop dan The Dreamer (edisi internasional Sang Pemimpi) saat ini telah beredar di Indonesia. Segera disusul oleh edisi internasional Edensor dan Maryamah Karpov.
Novel- novel Andrea Hirata setelah tetralogi Laskar Pelangi adalah Dwilogi Padang Bulan, yaitu dua karya Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas, dengan urutan Padang Bulan terlebih dulu. Dwilogi ini meneguhkan Andrea sebagai cultural novelist sekaligus periset sosial dan budaya. Watak manusia yang penuh kejutan, sifat- sifat unik sebuah komunitas, parodi, dan cinta, ditulis dengan cara membuka pintu- pintu baru bagi pembaca untuk melihat budaya, melihat diri sendiri, dan memahami cinta, hubungan keluarga, dan religi dengan cara yang tak biasa. Keindahan kisah, kedalaman intelektualitas, humor dan histeria kadang- kadang, serta kehati- hatian sekaligus kesembronoan yang disengaja telah menjadi ciri gayanya. Dia sesungguhnya tahu arti carpe diem (Cinta di Dalam Gelas) dan tahu bahwa Benyamin Franklin tidak pernah menjadi Presiden Amerika ( Edensor). Ia pun dengan jeli menghindari permintaan penjelasan dari para matematikawan atas teori lirikan matanya (Padang Bulan) dengan mengambangkan kepastian panjang sebuah meja pingpong.
Ide tulisan dengan hasrat bereksperimen yang kuat serta kemampuan menyeimbangkan mutu dan penerimaan yang luas dari masyarakat adalah daya tarik sekaligus misteri terbesar Andrea Hirata. Ia mampu menjangkau semua kalangan. Laskar Pelangi dibaca anak berusia 7 tahun sampai profesor universitas berusia 70 tahun. Dinikmati penggila sastra sampai orang yang sama sekali tidak pernah membaca novel. Karya- karyanya diwacanakan di Fakultas Sastra, dijadikan skripsi, maskawin, bacaan wajib di sekolah dan dibaca orang di dalam bus kota, sambil tertawa dan menangis, sendirian. Godaan untuk membaca tulisannya telah berkembang menjadi sama besarnya dengan godaan untuk mengetahui siapa novelis eksentrik ini, sama pula besarnya dengan godaan untuk membajak karya- karyanya.
Andrea Hirata lulus cum laude dari program post graduate di Sheffield Hallam University, United Kingdom, melalui beasiswa Uni Eropa. Ia sempat menjalani riset di Groningen, Holland dan Sorbonne, Paris. Bidang yang ditekuninya adalah pengembangan model-model pricing, terutama untuk teori ekonomi telekomunikasi. Sebuah bidang yang sangat matematis. Ia pernah bekerja di sebuah institusi keuangan di London dan di perusahaan negara Telekomunikasi Indonesia, tapi tidak mendapatkan kebahagiaandi kedua tempat itu. Saat ini Andrea Lebih banyak tinggal di tempat kelahirannya di Pulau Belitong, di pulau itu seluruh kisah Laskar Pelangi terjadi. Film dan novel Laskar Pelangi telah mengenalkan pulau itu kepada dunia dan mebuatnya dijuluki Negeri Laskar Pelangi. Di pulau itu Andrea tinggal bersama kedua orang tuanya, namun lebih banyak menghabiskan waktu di sebuah kabin di pinggir sungai, di tepi kampungnya, tanpa jaringan telepon, tanpa internet, dan tanpa listrik.
Setelah menyelesaikan novel Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas, Andrea berencana memelihara beberapa ekor sapi dan berharap sapi- sapi itu akan menerbitkan keinginannya kembali untuk menulis novel. Kadang- kadang ia mengisi waktu secara sukarela mengajar Matematika dan bahasa Inggris untuk anak- anak kecil, dan sesekali keluar dari Pulau itu untuk menghadiri undangan festival buku dan film di luar negeri. Ia juga sering mencoba suaranya sebagai tukang adzan di mesjid. Selain itu, dia banyak melamun saja. Tapi, dari kejauhan dia melihat- lihat jika di kampung ada komedi putar. Naik komedi putar adalah hobinya dari dulu hingga sekarang.
Buat teman- teman dibaca yah novelnya, karena banyak banget nilai moral dan pengalaman budaya tentang etnis dan kehidupan, harga buku rasanya tidak sebanding dengan besarnya nilai spirit yang diberikan, pokoknya gak kalah dengan Laskar Pelangi. (pesan dari Admin nich yang kebetulan udah baca semua karya Andrea Hirata). Trim’s
Dikutip dari Novel Dwilogi Padang Bulan

Jambi adalah salah satu nama provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang beribukota Jambi ini merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901 M). Konon, jauh sebelum adanya wilayah kesultanan ini, di negeri Jambi telah berdiri lima buah desa, namun belum memiliki seorang pemimpin atau raja. Untuk itu, para sesepuh dari kelima desa tersebut bersepakat untuk mencari seorang raja yang dapat memimpin dan mempersatukan kelima desa tersebut. Setelah bermusyawarah, mereka bersepakat bahwa siapa pun dapat menjadi pemimpin, tapi dengan syarat harus lulus ujian. Ujian apakah yang harus ditempuh untuk menjadi pemimpin kelima desa tersebut? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Raja Negeri Jambi berikut ini.
* * *

Pada zaman dahulu, wilayah Negeri Jambi terdiri dari lima buah desa dan belum memiliki seorang raja. Desa tersebut adalah Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, dan Batin Duo Belas. Dari kelima desa tersebut, Desa Batin Duo Belaslah yang paling berpengaruh.

Semakin hari penduduk kelima desa tersebut semakin ramai dan kebutuhan hidup mereka pun semakin berkembang. Melihat perkembangan itu, maka muncullah suatu pemikiran di antara mereka bahwa hidup harus lebih teratur, harus ada seorang raja yang mampu memimpin dan mempersatukan mereka. Untuk itu, para sesepuh dari setiap desa berkumpul di Desa Batin Duo Belas yang terletak di kaki Bukit Siguntang (sekarang Dusun Mukomuko) untuk bermusyawarah.

”Sebelum kita memilih seorang raja di antara kita, bagaimana kalau terlebih dahulu kita tentukan kriteria raja yang akan kita pilih. Menurut kalian, apa kriteria raja yang baik itu?” tanya sesepuh dari Desa Batin Duo Belas membuka pembicaraan dalam pertemuan tersebut.

”Menurut saya, seorang raja harus memiliki kelebihan di antara kita,” jawab sesepuh dari Desa Tujuh Koto.

”Ya, Benar! Seorang raja harus lebih kuat, baik lahir maupun batin,” tambah sesepuh dari Desa Petajin.

”Saya sepakat dengan pendapat itu. Kita harus memilih raja yang disegani dan dihormati,” sahut sesepuh dari Desa Muaro Sebo.

”Apakah kalian semua setuju dengan pendapat tersebut?” tanya sesepuh dari Desa Batin Duo Belas.

”Setuju!” jawab peserta rapat serentak.

Akhirnya, mereka bersepakat tentang kriteria raja yang akan mereka pilih, yakni harus memiliki kelebihan di antara mereka.

”Tapi, bagaimana kita dapat mengetahui kelebihan masing-masing di antara kita?” tanya sesepuh dari Desa Sembilan Koto.

”Kalau begitu, setiap calon pemimpin harus kita uji kemampuannya,” jawab sesepuh Desa Batin Duo Belas.

”Bagaimana caranya?” tanya sesepuh Desa Petajin penasaran.

”Setiap calon harus melalui empat ujian, yaitu dibakar, direndam di dalam air mendidih selama tujuh jam, dijadikan peluru meriam dan ditembakkan, dan digiling dengan kilang besi. Siapa pun yang berhasil melalui ujian tersebut, maka dialah yang berhak menjadi raja. Apakah kalian setuju?” tanya sesepuh Desa Batin Duo Belas.

Semua peserta rapat setuju dan siap untuk mencari seorang calon raja. Mereka bersepakat untuk melaksanakan ujian tersebut dalam tiga hari kemudian di Desa Batin Duo Belas. Dengan penuh semangat, seluruh sesepuh kembali ke desa masing-masing untuk menunjuk salah seorang warganya untuk mewakili desa mereka dalam ujian tersebut. Tentunya masing-masing desa berharap memenangkan ujian tersebut. Oleh karena itu, mereka akan memilih warga yang dianggap paling sakti di antara mereka.

Waktu pelaksanaan ujian pun tiba. Semua warga dari kelima desa telah berkumpul di Desa Batin Duo Belas untuk menyaksikan lomba adu kesaktian yang mendebarkan itu. Setiap desa telah mempersiapkan wakilnya masing-masing. Sebelum perlombaan dimulai, peserta yang akan tampil pertama dan seterusnya diundi terlebih dahulu.

Setelah diundi, rupanya undian pertama jatuh kepada utusan dari Desa Sembilan Koto. Wakil desa itu pun masuk ke tengah gelanggang untuk diuji. Ia pun dibakar dengan api yang menyala-nyala, tapi tubuhnya tidak hangus dan tidak kepanasan. Ujian kedua, ia direndam di dalam air mendidih, namun tubuhnya tidak melepuh sedikit pun. Ujian ketiga, ia dimasukkan ke dalam mulut meriam lalu disulut dengan api dan ditembakkan. Ia pun terpental dan jatuh beberapa depa. Ia segera bangun dan langsung berdiri tegak seperti tidak terjadi apa-apa. Seluruh penonton kagum menyaksikan kehebatan wakil dari Desa Sembilan Koto itu.

Ketika memasuki ujian terakhir, tiba-tiba suasana menjadi hening. Seluruh penonton menjadi tegang, karena ujian yang terakhir ini adalah ujian yang paling berat. Jika kesaktian wakil dari Desa Sembilan Koto itu kurang ampuh, maka seluruh tulangnya akan hancur dan remuk. Ternyata benar, belum sempat penggilingan itu menggiling seluruh tubuhnya, orang itu sudah meraung kesakitan, karena tulang-tulangnya hancur dan remuk. Penggilingan pun segera dihentikan. Wakil dari Desa Sembilan Koto itu dinyatakan tidak lulus ujian dan gagal menjadi raja Jambi.

Ujian berikutnya jatuh kepada wakil dari Desa Tujuh Koto.

”Wakil dari Desa Tujuh Koto dipersilahkan untuk memasuki gelanggang,” kata salah seorang panitia mempersilahkan.

Setelah beberapa saat menunggu, wakil dari Desa Tujuh Koto belum juga maju.

”Mana wakil dari Desa Tujuh Koto? Ayo, maju!” seru salah seorang panitia.

“Kalau tidak berani, lebih baik mundur saja!” tambahnya.

Merasa dilecehkan oleh panitia, calon dari Desa Tujuh Koto pun segera maju.

“Siapa takut? Kami dari Desa Tujuh Koto dak kenal kato undur, dak kenal kato menyerah!” seru wakil Desa Tujuh Koto itu dengan nada menantang.

Calon raja dari Desa Tujuh Koto pun diuji. Ia berhasil melalui ujian pertama hingga ujian ketiga. Namun, ia gagal pada ujian keempat. Akhirnya, ia pun gagal menjadi raja Jambi.

Ujian berikutnya dihadapi oleh wakil dari Desa Batin Duo Belas, kemudian diikuti oleh Desa Petajin dan Muaro Sebo. Namun, wakil dari ketiga desa tersebut semuanya gagal melalui ujian keempat, yakni digiling dengan kilang besi. Oleh karena semua wakil dari kelima desa tersebut gagal melalui ujian, maka mereka pun kembali mengadakan musyawarah.

“Bagaimana kalau kita mencari calon raja Jambi dari negeri lain?” usul sesepuh dari Desa Batin Duo Belas.

Usulan tersebut diterima oleh peserta rapat lainnya. Selanjutnya mereka mengutus dua wakil dari setiap desa untuk pergi mencari calon raja. Keesokan harinya, rombongan itu berangkat meninggalkan Negeri Jambi menuju ke negeri-negeri di sekitarnya. Di setiap negeri yang disinggahi, mereka menanyakan siapa yang bersedia menjadi raja Jambi dan tidak lupa pula mereka menyebutkan persyaratannya, yaitu harus mengikuti keempat ujian tersebut.

Sudah berpuluh-puluh negeri mereka singgahi, namun belum menemukan seorang pun yang bersedia menjadi raja Jambi, karena tidak sanggup menjalani keempat ujian tersebut. Rombongan itu pun kembali mengadakan musyawarah.

”Kita kembali saja ke Negeri Jambi. Mustahil ada orang yang mampu memenuhi syarat itu untuk menjadi raja Jambi,” keluh wakil Desa Petijan.

”Sabar, Saudara! Kita jangan cepat putus asa. Kita memang belum menemukan calon raja Jambi di beberapa negeri yang dekat ini. Tetapi, saya yakin bahwa di negeri jauh sana kita akan menemukan orang yang kita cari,” kata wakil Desa Muaro Sebo.

”Apa maksudmu?” tanya wakil Desa Petijan penasaran.

”Kita harus mengarungi samudera yang luas itu,” jawab wakil Desa Muaro Sebo dengan tenang.

”Kami setuju!” sahut wakil dari Desa Batin Duo Belas, Tujuh Koto, dan Sembilan Koto.

”Kalau begitu, kami juga setuju,” kata wakil Desa Petijan.

Akhirnya, rombongan itu bertekat untuk mengarungi samudera di ujung Pulau Sumatra. Setelah mempersiapkan segala keperluan, berangkatlah rombongan itu dengan menggunakan dendang (perahu besar). Setelah berhari-hari diombang-ambing oleh gelombang laut di tengah samudera yang luas itu, mereka pun tiba di Negeri Keling (India). Mereka berkeliling di Negeri Keling yang luas itu untuk mencari orang yang bersedia menjadi Raja Negeri Jambi dengan ujian yang telah mereka tentukan. Semua orang yang mereka temui belum ada yang sanggup menjalani ujian berat itu.

Pada suatu hari, mereka mendengar kabar bahwa di sebuah kampung di Negeri Keling, ada seseorang yang terkenal memiliki kesaktian yang tinggi. Akhirnya, mereka pun menemui orang sakti itu.

”Permisi, Tuan! Kami adalah utusan dari Negeri Jambi. Negeri kami sedang mencari seorang raja yang akan memimpin negeri kami, tapi dengan syarat harus lulus ujian. Apakah Tuan bersedia?” tanya salah seorang dari rombongan itu sambil menceritakan ujian yang harus dijalani calon raja itu.

”Saya sanggup menjalani ujian itu,” jawab orang itu.

Rombongan itu segera membawa calon raja itu pulang ke Negeri Jambi. Setelah menempuh perjalanan selama berminggu-minggu, tibalah mereka di Negeri Jambi. Orang sakti itu disambut gembira oleh rakyat Jambi. Mereka berharap bahwa calon yang datang dari seberang lautan itu benar-benar orang yang sakti, sehingga lulus dalam ujian itu dan menjadi raja mereka.

Keesokan harinya, orang sakti itu pun diuji. Seperti halnya calon-calon raja sebelumnya, orang sakti itu pertama-tama dibakar dengan api yang menyala-nyala. Orang Keling itu benar-benar sakti, tubuhnya tidak hangus, bahkan tidak satu pun bulu romanya yang terbakar. Setelah diuji dengan ujian kedua dan ketiga, orang itu tetap tidak apa-apa. Terakhir, orang itu akan menghadapi ujian yang paling berat, yang tidak sanggup dilalui oleh calon-calon raja sebelumnya, yaitu digiling dengan kilang besi yang besar. Pada saat ujian terakhir itu akan dimulai, suasana menjadi hening. Penduduk yang menyaksikan menahan napas. Dalam hati mereka ada yang menduga bahwa seluruh tubuh orang itu akan hancur dan remuk.

Ini adalah saat-saat yang mendebarkan. Ujian terakhir itu pun dimulai. Pertama-tama, kedua ujung jari-jari kaki orang Keling itu dimasukkan ke dalam kilang besi. Kilang mulai diputar dan sedikit demi sedikit tubuh orang Keling itu bergerak maju tertarik kilang besi yang berputar. Semua penduduk yang menyaksikannya menutup mata. Mereka tidak sanggup melihat tubuh orang Keling itu remuk. Namun apa yang terjadi? Mereka yang sedang menutup mata tidak mendengarkan suara jeritan sedikit pun. Tetapi justru suara ledakan dahsyatlah yang mereka dengarkan. Mereka sangat terkejut saat membuka mata, kilang besi yang besar itu hancur berkeping-keping, sedangkan orang Keling itu tetap tidak apa-apa, bahkan ia tersenyum sambil bertepuk tangan. Penduduk yang semula tegang ikut bergembira, karena berhasil menemukan raja yang akan memimpin mereka.

Seluruh penduduk dari Desa Tujuh Koto, Sembilan Koto, Muaro Sebo, Petajin, dan Batin Duo Belas segera mempersiapkan segala keperluan untuk membangun sebuah istana yang bagus. Selain itu, mereka juga mempersiapkan bahan makanan untuk mengadakan pesta besar-besaran untuk meresmikan penobatan Raja Negeri Jambi. Beberapa bulan kemudian, berkat kerja keras seluruh warga, berdirilah sebuah istana yang indah dan orang Keling itu pun dinobatkan menjadi raja Jambi.
* * *

Demikian cerita Asal Usul Raja Negeri Jambi dari daerah Jambi, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat diambil, yaitu sifat suka bermusyawarah dan pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam kehidupan masyarakat.

Pertama, sifat suka bermusyawarah. Sifat ini tercermin pada perilaku warga dari kelima desa dalam cerita di atas. Setiap menghadapi persoalan, mereka senantiasa bermusyawarah. Dalam ungkapan Melayu dikatakan:

apa tanda Melayu bertuah,
sebarang kerja bermusyawarah.

Kedua, pentingnya keberadaan seorang pemimpin. Dalam cerita di atas, masyarakat menyadari bahwa keberadaan seorang pemimpin dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting. Untuk itu, mereka pun berusaha mencari seorang raja yang diharapkan mampu membimbing, melindungi, menjaga, dan menuntun mereka agar kehidupan mereka aman, damai dan sejahtera. Dikatakan dalam petuah amanah orang tua-tua Melayu:

bertuah ayam ada induknya
bertuah serai ada rumpunnya
bertuah rumah ada tuannya
bertuah kampung ada penghulunya
bertuah negeri ada rajanya
bertuah iman ada jemaahnya

Sumber : http://folktalesnusantara.blogspot.com/2009/02/raja-jambi-penakluk-hantu-pirau.html


datuk-darah-putihMitos Datuk Darah Putih merupakan cerita tentang seorang panglima perang kerajaan yang ada di daerah dusun Sungai Aro, kabupaten Tebo, Jambi. Mitos tentang Datuk Darah Putih ini dipercayai oleh masyarakat dusun sungai Aro sebagai seorang panglima yang mempunyai darah berwarna putih bila mengalami luka ditubuhnya.

Cerita tentang Datuk Darah Putih disebutkan pada masa penjajahan Belanda ke daerah Sungai Aro. Raja sungai Aro merasa khawatir akan nasib rakyatnya yang terbelenggu rantai penjajahan. Bermusyawarahlah raja dengan para panglima untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan serangan yang akan menimpa kerajaan. Keputusan raja bahwa gerakan Belanda harus dihadang di laut. Berdasarkan strategi tempat penghadangan adalah di Pulau Berhala. Tugas itu dibebankan pada Datuk Darah Putih. Perntah itu diterima dengan tegas walau saat itu istri Datuk Darah Putih sedang hamil tua. Perpisahan itu tanpa isak tangis sang istri. Istrinya tahu bahwa suaminya pergi berjuang untuk membela Jambi dari jajahan Belanda. Datuk Darah Putih dan seluruh anggota pasukan pilihan tersebut berjalan dengan gagah berselempan semangat dan kejantanan yang tinggi.

Sesampainya di Pulau Berhala Datuk Darah Putih dan pasukannya mendirikan benteng pertahanan mulai dari pantai sampai ke puncak bukit. Beberapa hari kemudian kapal pasukan Belanda datang ke Pulau Berhala untuk mengambil persediaan minum. Pada saat itulah serangan mendadak pasukan Datuk Darah Putih dilancarkan ke Belanda. Karena sama sekali tidak mengira serangan itu membuat Belanda kewalahan dan akhirnya kalah oleh pasukan Datuk Darah Putih. Seluruh isi kapal disita dan kapal Belanda dibakar.

Menjelang malam keempat setelah kemenangannya Datuk Darah Putih dan pasukannya kembali menghadang Belanda yang dating di tengah laut. Pertempuran pun berlangsung beberapa hari dan ternyata pihak Belanda jauh lebih besar dan kuat dalam persenjataan. Kekalahan dalam jumlah dan senjata yang akhirnya membuat pasukan Datuk Darah Putih kalah. Di pertempuran itu Datuk Darah Putih terpenggal kepalanya oleh pedang prajurit Belanda. Kapalnya pun hancur dan tenggelam ke laut. Dari urat leher yang terputus bersimbah darah berwarna putih masih terdengar suara Datuk Darah Putih yang memerintahkan anak buahnya untuk segera membawanya mundur sedangkan yang lain meneruskan perlawanan. Oleh anak buahnya, Datuk Darah Putih di bawa ke benteng pertahanan. Kemudian Datuk Darah Putih memerintahkan anak buahnya untuk mencari batu sengkalan (penggiling cabai) untuk menutup lukanya. Setelah menutup lukanya dengan batu sengkalan maka berhentilah darah yang mengalir. Seperti tidak mengalami kecelakaan, Datuk Darah Putih beserta anak buahnya kembali bergabung dengan anggota pasukannya. Ia mengamuk dan menghantam habis semua serdadu Belanda. Pertempuran akhirnya dimenangi oleh Belanda.

Esok harinya Datuk Darah Putih kembali ke Negeri Sungai Aro. Ketika sampai di Sungai Aro, ia dipapah menuju rumahnya dan ia tidak mampir menghadap raja terlebih dahulu. Rakyat ikut mengiringinya sampai ke anak tangga rumah. Sang istri telah menunggu dan telah melahirkan seorang putra. Melihat kondisi suaminya yang sudah tanpa kepala, ia tetap pasrah dan kepulangan itu juga tidak ditangisinya. Kemudian Datuk Darah Putih perlahan meraih bayi dalam buaian. Sang bayi diam terlelap dalam tidurnya dan dengan kedua tangan yang kokoh Datuk Darah Putih mendekap anaknya ke dadanya dan kembali meletakkannya di buaian. Orang-orang yang hadir tenggelam dalam keharuan dan melinangkan air mata melihat dan merasakan seolah-olah ada dialog perpisahan diantara ayah dan anak, diantara suami dan istri, diantara panglima dan anak buahnya. Datuk Darah Putih pelan-pelan tertunduk dan kemudian berbaring di dekat buaian anak tercinta, anak ang hanya dapat dirabanya dan didekapnya tana mengetahui bentuk dan rupanya. Bersamaan dengan suara zan ashar yang sayup-sayup sampai dari kejauhan, tubuh Datuk Darah Putih terbujur kaku tak bernafas lagi.

Mitos tentang Datuk Darah Putih ini merupakan salah satu cerita rakyat Jambi yang ada di daerah Kabupaten Tebo. Mitos ini kemudian dituliskan dalam sebuah buku Geografi Pariwisata Kabupaten Bungo Tebo (1999) oleh Junaidi T. Noor yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Dati II Bungo Tebo (pada waktu itu Bungo Tebo masih dalam satu kabupaten. Pada tahun 2000, otonomi daerah menyebabkan kabupaten itu terpisah menjadi dua kabupaten, yaitu kabupaten Bungo dan kabupaten Tebo).

Sumber : http://mamas86.info/cerita-rakyat-daerah-jambi-datuk-darah-putih/

Kamis, 24 Maret 2011

http://3.bp.blogspot.com/_D7gbHOzZjzM/SwFr-gGhjeI/AAAAAAAABu8/t46JQEpyVvc/s1600/Abdul_muis.jpgLahir di Bukit Tnggi 3 Juli 1883. Pendidikan ELS, Stovia di Jakarta, tidak sampai selesai. Istrinya Sunarsih-seorang wartawati Pres Agenschap Hindie Timur (Wow, bisa kita bayangkan wartawati di jaman itu bukan!!!).

Abdul Muis bekerja di harian "Preanger Bode", surat kabar Belanda terbitan Bandung. Tugasnya mengoreksi karangan-karangan yang akan dimasukkan ke percetakan sehingga ia membaca karangan-karangan Balanda yang berisi penghinaan terhadap bangsa Indonesia.

Perasaannya terhina, namun protes terhadap atasannya tak ditanggapi. Ini mendorongnya menulis karangan yang menangkis penghinaan penulis-penulis Belanda. Artikel-artikelnya ia kirim ke harian "De Express" berbahasa Belanda yang dipimpin Douwes Dekker (Danudirdja Setiabudi).

Tahun 1918 Abdul Muis sudah menjadi anggauta Volkstraad bersama Tjokroaminoto. Untuk membicarakan pertahanan dibentuk komite Ketahanan Hindia Belanda untuk memperjuangkan agar Indonesia dilaksanakan milisi. Salah satu utusan yang dikirim adalah Abdul Muis.

Perjuangan milisi gagal namun Abdul Muis berhasil meyakinkan Pemerintah Belanda, bahwa di Indonesia perlu didirikan Sekolah Tinggi Teknik. Kemudian ini terwujud dengan didirikannya Technise Hooge School (kini ITB).

Tahun 1920 ia dipilih menjadi Ketua Pengurus Besar "Perkumpulan Buruh Pegadaian" dan setahun kemudian ia memimpin pemogokan buruh pegadaian di Yogyakarta bersama Suryoranoto.Pemogokan itu dianjurkan sebagai senjata buruh untuk perbaikan nasib. Akibatnya banyak buruh yang dipecat dan Abdul Muis ditangkap.

Tahun 1926 pemerintah bertindak. Ia dilarang tinggal di tanah kelahirannya, disusul larangan ke luar P.Jawa dan larangan mengadakan kegiatan politik. Ia dibebaskan untuk memilih tempat pengasingannya dan ia memilih daerah Garut.

Di dalam masa pengasingan ini ia salurkan untuk menulis Salah Asuhan. Ia juga menulis Pertemuan Jodoh, Daman Brandal, Sabai Nan Aluih. Ia juga menterjemahkan buku bahasa asing Sebatang Kara, Pangeran Kronel, Tom Sawyer, Suku Mohawk Tumpas, Tjut Nyak Dhein dan Menuju Kemerdekaan.

Di masa setelah kemerdekaan ia membentuk Persatuan Perjuangan Priangan. Kegiatannya membuatnya mempunyai dua lawan yakni Belanda dan DI/TII. Kepada Kartosuwiryo pemimpin DI/TII ia berpesan supaya menghentikan aksi-aksi terornya. Abdul Muis mengatakan dengan tegas akan mempertahankan kemerdekaan yang sudah lama diperjuangkan.

Tanggal 17 Juli 1959 Abdul Muis meninggal dunia di Bandung dalam usia 76 tahun. Pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Memperjuangkan nasih buruh sedari dulu tetap sama yakni mesti berhadapan dengan penguasa. Tokoh yang pemberaninya pun sama, mesti siap ditangkap, bahkan bisa-bisa nyawa menjadi taruhannya!!!

Lebih lanjut tentang: Biografi ABDUL MUIS

I. Sinopsis Novel Siti Nurbaya
Dengan maksud yang licik Datuk Maringgih meminjamkan uangnya pada Baginda Sulaiman. Berkat pinjangan uang dari Datuk Maringgih tersebut, usaha dagang Baginda maju pesat. Namun sayang, rupanya Datuk Maringgih menjadi iri hati melihat kemajuan dagang yang dicapai oleh Baginda Sulaiman ini, maka dengan seluruh orang suruhanya, yaitu pendekar lima, pendekar empat serta pendekar tiga, serta yanglainnya Datuk Maringgih memerintahkan untuk membakar toko Baginda Sulaiman. Dan toko Bagindapun habis terbakar. Akibatnya Baginda Sulaiman jauh bangrut dan sekligus dengan hutang yang menunpukpadaDatukMaringgih.

Di tengah-tengah musibah tersebut, Datuk Maringgih menagih hutangnya kepadanya. Jlas, tentu saja Baginda Sulaiman tidak mempu membayarnya. Hal ini memang sengaja oelh datuk Maringgih, sebab dia sudah tahu pasti bahwa Baginda Sulaiman tidak mampu membayarnya. Dengan alasan hutang tersebut, Datuk Maringgih langsung menawarkan bagaimana kalau Siti Nurbaya, Putri Baginda Sulaiman dijadikan istri Datuk Maringgih. Kalau tawaran Datuk Maringgih ini diterima, maka hutangnya lunas. Dengan terpaksa dan berat hati, akhirnya Siti Nurbaya diserahkan untuk menjadi istri –Datuk Maringgih.

Waktu itu Samsulbahri, kekasih Siti Nurbaya sedang menuntut ilmu di Jakarta. Namun begitu, Samsul Bahri tahu bahwa kekasihnya diperistri oleh orang lain. Hal tersebut dia ketahui dari surat yang dikirim oleh Siti Nurbaya kepadanya. Dia sangat terpukul oleh kenyataan itu. Cintanya yang menggebu-gebu padanya kandas sudah. Dan begitupun dengan Siti Nurbaya sendiri, hatinya pun begitu hancur pula, kasihnya yang begitu dalam pada Samsulbahri kandas sudah akibat petaka yang menimpa keluarganya.

Tidak lama kemudian, ayah Siti Nurbaya jatuh sakit karena derita yangmenimpanya begitu beruntun. Dan, kebetulan itu Samsulbahri sedang berlibur, sehingga dia punya waktu untuk mengunjungi keluarganya di Padang. Di samping kepulangnya kekampung pada waktu liburan karena kangennya pada keluarga, namun sebenarnya dia juga sekaligus hendak mengunjungi Siti Nurbaya yang sangat dia rindukan.

Ketika Samsulbahri dan Siti Nurbaya sedang duduk di bawah pohon, tiba-tiba muncul Datuk Maringgih di depan mereka. Datuk Maringgih begitu marah melihat mereka berdua yang sedang duduk bersenda gurau itu, sehingga Datuk maringgih berusaha menganiaya Siti Nurbaya. Samsulbahri tidak mau membiarkan kekasihnya dianiaya, maka Datuk Maringgih dia pukul hingga terjerembab jatuh ketanah. Karena saking kaget dan takut, Siti Nurbaya berteriak-teriak keras hingga terdengar oleh ayahnya di rumah yang sedang sakit keras. Mendengar teriakan anak yang sangat dicinatianya itu, dia berusaha bangun, namun karena dia tidak kuat, ayah Siti Nurbaya kemudian jatuh terjerembab di lantai. Dan rupanya itu juga nyawa Baginda Sulaiman langsung melayang.

Karena kejadian itu, Siti Nurbaya oleh datuk Maringgih diusir, karena dianggap telah mencoreng nama baik keluarganya dan adat istiadat. Siti Nurbaya kembali ke kampunyanya danm tinggal bersama bibinya. Sementara Samsulbahri yang ada di Jakarta hatinya hancur dan penuh dendam kepada Datuk Maringgih yang telah merebut kekasihnya. Siti Nurbaya menyusul kekasihnya ke Jakarta, naumun di tengah perjalanan dia hampir meninggal dunia, ia terjatuh kelaut karena ada seseorang yang mendorongnya. Tetapi Siti Nurbaya diselamatkan oleh seseorang yang telah memegang bajunya hingga dia tidak jadi jatuh ke laut.

Rupanya, walaupun dia selamat dari marabahaya tersebut, tetapi marabahaya sberikutnye menunggunya di daratan. Setibanya di Jakarta, Siti Nurbaya ditangkap polisi, karena surat telegram Datuk Maringgih yang memfitnah Siti Nurbaya bahwa dia ke Jakarta telah membawa lari emasnya atau hartanya.

Samsulbahri berusaha keras meolong kekasihnya itu agar pihak pemerintah mengadili Siti Nirbaya di Jakarta saja, bukan di Padang seperti permintaan Datuk Maringgih. Namun usahanya sia-sia, pengadilan tetap akan dilaksanakan di Padang. Namun karena tidak terbukti Siti Nurbaya bersalah akhirnya dia bebas.

Beberapa waktu kemudian. Samsulbahri yang sudah naik pangkat menjadi letnan dikirim oleh pemerintah ke Padang untuk membrantas para pengacau yang ada di daerah Padang. Para pengacau itu rupanya salah satunya adalah Datuk Maringgih, maka terjadilah pertempuran sengit antara orang-orang Letnan Mas (gelar Samsulbahri) dengan orang-orang Datuk Maringgih. Letnan Mas berduel dengan Datuk Maringgih. Datuk Maringgih dihujani peluru oleh Lentan Mas, namun sebelum itu datuk Maringgih telah sempat melukai lentan Mas dengan pedangnya. Datuk Maringgih meninggal ditempat itu juga, sedangkan letan mas dirawat di rumah sakit.

Sewaktu di rumah sakit, sebelum dia meninggal dunia, dia minta agar dipertemukan dengan ayahnya untuk minta maaf atas segala kesalahannya. Ayah Samsulbahri juga sangat menyesal telah mengata-ngatai dia tempo dulu, yaitu ketika kejadian Samsulbahri memukul Datuk Maringgih dan mengacau keluarga orang yang sangat melanggar adat istiadat dan memalukan itu. Setelah berhasil betemu dengan ayahnya, Samsulbahripun meninggal dunia. Namun, sebelum meninggal dia minta kepada orangtuanya agar nanti di kuburkan di Gunung Padang dekat kekasihnya Siti Nurbaya. Perminataan itu dikabulkan oleh ayahnya, dia dikuburkan di Gunung Padang dekat dengan kuburan kekasihnya Siti Nurbaya. Dan di situlah kedua kekasih ini bertemu terakhir dan bersama untuk selama-lamanya.

II. Unsur-unsur Intrinsik Novel Siti Nurbaya
A. Tema
Tradisi kawin paksa

B. Tokoh
1. Siti Nurbaya
2. Samsul Bahri
3. Pak Ali
4. Datuk Maringgih
5. Bahtiar
6. Sutan Mahmud
7. Baginda Sulaiman
8. Siti Maryam

C. Latar
* Tempat : - Muka Sekolah Belanda Pasar Ambacang Di Padang
- Dalam Rumah
- Serambi Belakang Rumah
- Gedung Dapang
* Waktu : - Siang Hari Pukul 13.00 Wib.
- Sore Hari.
- Pagi Hari Pukul Lima Pagi.
- Ahad
D. Sudut Pandang : Orang ketiga
E. Gaya Bahasa : Melayu, Belanda, Padang.
F. Amanat :
- Orang Tua Jangan Terlalu Memaksa Keinginan Diri Terhadap Anak- Anaknya.
- Orang Tua Janan Terlal Memandang Orang Dengan Mukanya.
- Biarkan Anak Dapat Memilih Jodohnya Sendiri.
G. Alur : Maju mundur.

III. Bagian yang Menarik dari Novel Siti Nurbaya
Bab I
Pulang Dari Sekolah

“Oya Nur, tunggu sebentar,” kata si Sam.”Hampir lupa aku tadi, waktu keluar bermain-main, aku telah bermupakat dengan si Arifin dan si Bahtiar, akan pergi esok hari ke gunung Padang, bermain-main mencari jambu keling, bebab hari ahad sukakah engkau mengikut?”
”Tentu sekali Sam, ”Jawab si Nur dengan girang. ”Tetapi aku harus izin dahulu kepada ayahku. Jika dapat, nanti petang kukabarkan kepadamu.“

Bab II
Sutan Mahmud dengan Saudaranya yang Perempuan

Rukiah tunduk kembali kemalu-maluan, serta merah mukanya. Tatkala itu keluarlah seorang perempuan yang umurnya kira-kira 45 tahun, dari dalam bilik. Rupanya perempuan ini hapir seroman dengan Sutan Mahmud. Hanya badanya kurus sedikit. Pada air mukanya yang agak berlainan dengan wajah Sutan Mahmud, terbayang tabiatnya yang kurang baik, yaitu dengki dan bengis.
Tatkala dilihatnya Sutan Mahmud duduk diatas kursi lalu di tegurnya, engkau, Penghulu! Alangkah besar hatiku melihat engkau ada pula di rumah ini, karena telah sekian lama engkau tiada datang kemari. Hampir aku bersangka engkau telah lupa kepada kami. Karena dahulu setiap hari engkau datang kemari, makan dan minum di sini kadang-kadang tidur pula di sini. Akan tetapi sekarang ini, jangankan tidur di sini, menjaga kami datang melihat kami kemari sekali sejum’at pun tidak.
Rukiah tidak bersekoloah itu bukan salah hamba, melainkan salah kakanda sendiri. Sudah beberapa kali hamba meminta kepada kakanda, supaya anak itu disekolahkan, tetapi kakandalah yang tak suka, karena tak baik kata kakanda, anak perempuan pandai menulis dan membaca: suka menjadi jahat. Sekarang hamba disalahkan lagi pula hamba sekolahkan si Samsu bukan karena apa-apa, melainkan sebab pada pikiran hamba kewajiban bapaklah memajukan anaknya, kata Sutan Mahmud sambil merengut .
Untung saja anakku perempuan, tak banyak merugikan engkau. Akan tetapi walaupun ia laki-laki sekalipun, belum tentu ia akan kau sekolahkan. Karena orang tak bersekolah itu orang yang hina dan miskin, yang tak dapat makan, kalau tak ada kepandaian.
Memang adat dan kelakuanmu telah berubah benar, tiada lama lagi tentulah kau akan tukarkan pula ayahmu dengan agama nasrani,” kata Putri Rubiah.
Apakah yang telah diberikan istrimu itu kepadamu, tidakkah kau ketahui: hingga tidak tertinggalkan olehmu perempuan itu sebagai telah terikat kaki tanganmu olehnya. Sekalian penghulu di Padang ini beristri dua, tiga sampai empat orang. Hanya engkau sendirilah yang dari dahulu, hanya perempuan itu saja istrimu tidak berganti-ganti, tiada bertambah-tambah. Bukankah orang yang besar itu beristri banyak? Bukankah baik, orang berbangsa itu beristri berganti-ganti supaya kembang keturunannya? Bukankah hina, jika ia beristrikan satu saja? Sedangkan orang kebanyakan yang tiada berpangkat dan tiada berbangsa, terkadang-kadang sampai empat istrinya, mengapa pula engkau tiada?
Bab III
Berjalan-Jalan ke Gunung Padang

Pada sangkaku aku terlambat, kata Arifin setelah ia duduk dekat Samsu.
Biarpun engkau terlambat, tentu akan kutunggu juga. Sebab demikian perjanjian kita, jawab Samsu.
Apa sebabnya engkau terlambat? Tanya Nurbaya.
Sebab aku memang orang yang suka tidur, apalagi tadi malam aku tak dapat lekas-lekas tidur, jawab Arifin.
Mengapa? Ada keramaian di rumahmu tadi malam? Tanya Samsu.
Ya, memang ada keramaian yang amat besar. Sampai pukul dua belas malam masih jaga aku.
Cobalah lihat Sam, baik hatinya Arifin ini! Ada keramaian di rumahnya, tiada dipanggil-panggilnya kita, kata Nurbaya mengumpat.
Cobalah kau ceritakan kepada kami, bagaimana asal dan kejadiannya pengamukan itu? Kata Bakhtiar.
Oleh sebab engkau sekalian minta supaya kuceritakan hal ini, itulah tandanya engkau sekalian hendak mendengarnya juga bukan? Akan tetapi kita hampir sampai ke muara, katakan keinginan hatimu itu, sampai nanti, kalau kita telah mendaki.
Coba lihat, kikirnya Arifin, jawab Bakhtiar yang hendak membalas dendam pada Arifin. ”sudah tiada dipanggilnya kita, tatkala ada keramaian di rumahnya. Sekarang ditahannya pula keinginan hati hendak mengetahui keramaian itu.
Sesungguhnya keempat anak muda itu telah sampai dekat ke sebuah rumah jaga di muara. Di sebelah pangkalan ini adalah sebuah rumah tempat pengail-ngail menjual ikan, dan di sebelah baratnya menjelang Gunung Padang sebagai kepala naga yang timbul dari dalam laut, yang menjadi leher naga ini adalah bagian yan rendah, itulah badan ular naga yang membengkok ke timur diiringkan oleh Sungai Arau yang mengalir di kakinya.
Jauh di sebelah barat tengah-tengah kolam, kelihatan beberapa buah pulau yang berleret-leret letaknya sebagai batas pagar kolam. Dibalik pulau-pulau itu adalah suatu mustika yang bundar sebagai sebuah bola mas yang menyala-nyala, memancarkan cahayanya yang kilau kemilu ke muka air kolam, seakan-akan sebuah kaca besar membalikkan cahaya yang jartuh ke atasnya, kedalam taman padi, menyinari segala pohon-pohon dan bunga-bungaan yang ada di sana.
Perlahan-lahan dengan tak kelihatan jalannya, turunlah mustika itu ke bawah. Bagai ditarik oleh seorang jin yang tida kelihatan sehingga akhirnya tenggelamlah ia ke dalam kolam yang ujungnya bagaikan bersabung dengan langit, meninggalkan gambar-gambar yang rupanya seakan-akan timbul dari dalam air.
Gunung Padang yang tingginya kira-kira 322 m, ialah ujung sebelah utara gunung-gunung rendah yang memanjang di sebelah selatan Kota Padang. Itu sebabnya pinggir laut di tempat itu pada beberapa tempat curam dan jarang didiami orang. Asalnya gunung-gunung ini pada Bukit Barisan yang memanjang di tengah-tengah pulau Sumatera dari ujung barat laut ke ujung tenggara. Gunung Padang sebagai suatu cabang Bukit Barisan itu , yang menganjur ke barat, sampai ke tepi laut kota Padang. Orang Belanda menamai Gunung Padang ini Apenberg (Gunung Kera), sebab puncaknya banyak kera yang jinak-jinak yang memberi kesukaan pada mereka yang mendaki.

Bab IV
Putri Rubiah dengan Saudaranya Sutan Hamzah

Pada petang hari ahad, tatkala Samsu dan sahabatnya pergi jalan-jalan ke Gunung Padang. Kelihatan putri rubiah duduk di serambi belakang rumahnya, diatas sebuah tikar rumput sedang menjahit. Dekat puri ini duduk saudaranya yang bungsu Sutan Hamzah sedang menggulung rokok daun nipah. Bagaimana pikiranmu tentang kakakmu Mahmud Hamzah? Pada pikiran hamba kelakuannya sangat berubah acapkali timbul pula dalam hatiku, memang pangkat itu aku sukai dan harus dijaga benar-benar. Supaya jangan bercacat nama. Tetapi janganlah hendaknya karena itu, berubah kelakuan adat dan pikirannya.
Yang menjadikan bimbang hatiku siang-malam hingga acapkali aku tak dapat tidur karena memikirkan hal ini. Aku takut kalau benar diperbuatnya itu, menjadi berbantah kita, antara saudara dengan saudar. Bukan tak baik saja perbuatan yang sedemikian, tetapi aku malu kepada orang lain. Sebab tak layak orang yang berbangsa seperti kita berbuat begitu, kata Putri Rubiah pula dengan mengeluh.
Bab V
Samsul Bahri Berangkat ke Jakarta

Sedang mereka asik bekerja itu, datanglah Nurbaya dari rumahnya dengan berpakaian yang indah-indah, membawa dua ikat karangan dari bermacam-macam bunga yang baik warnanya. Lalu bertanya, ”Belum selesai Sam?” Tatkala mendengar perkataan ini, menoleh Samsu ke belakang dan ketika terpandang olehnya gadis ini, tidaklah terkata-kata, ia sejurus lemahnya. Mukanya yang mula-mula riang, tiba-tiba menjadi muram. Jika Nurbaya tiada lekas menegurnya pula, barangkali kedatangan Nurbaya ini akan mengeluarkan air mata. Ketika Nurbaya hendak kembali ke rumahnya, berkatalah Samsu, ”Biarlah ku antarkan engkau ke rumahmu, sebab hari telah jauh malam. Tak baik perempuan berjalan seorang diri.” Oleh karena itu setuju dengan maksud Samsu ini, kedua anak muda ini berjalan perlahan-lahan menuju rumah Siti Nurbaya. Tatkala itu bulan bercahaya bagaikan siang. Bintang-bintang yang serupa mestika, berkilau-kilauan di langit tinggi sebagai kunang-kunang di tempat yang gelap. Awan bergerak beriring-iring dari barat lalu ke timur.
”Alangkah terang bulan ini,” kata Samsu tengah berjalan itu. ”Menambah rawan dan pilu hatiku, sehingga bertambah-tambah berat bagiku meninggalkan Padang ini. Memang sejak dari kemarin tiadalah dapat kulipur hatiku dengan pikiran akan melihat negeri yang selalu lebih besar dan menuntut pelajaran yang lebih tinggi saja. Makin dekat aku pada waktu akan berangkat, makin hancur hatiku.”
”Ada suatu pikiran yang selalu menggoda hatiku, yang selalu melintas dalam ingatan dan tak dapat kulupakan siang malam.” Dengan bercakap-cakap sedemikian sampailah keduanya ke dalam pekarangan Nurbaya. Lalu duduklah mereka berdekat-dekatan di atas sebuah bangku, di bawah pohon tanjung yang rindang dalam kebun anak gadis ini.
Engkau tiada tahu rasa hatiku saat ini: itulah sebabnya kau permudah saja hal ini, pikiran yang ada dalam hatiku rupanya tak ada dalam hatimu, sehingga tak dapat kau pikirkan hatiku.
Nurbaya, karena besok aku akan meninggalkan kota Padang ini, akan pergi ke rantau orang, entah berbalik entah tidak. Sebab itu pada sangkaku inilah waktunya akan membukakan rahasia hatiku. Ketahuilah olehmu, Nur, bahwa aku ini sangat mencintaimu. Percintaan itu telah lama kusembunyikan dalam hatiku, sekarang baru kubukakan. Karena pada sangkaku, rahasia itu harus kau ketahui, sebelum kita bercerai. Siapa tahu, barangkali tak dapati aku kembali lagi, tak dapat kita ketemu pula. Jika tidak kubukakan rahasia ini kepadamu, pastilah ia menjadi sebagai duri di dalam daging padaku, terasa-rasa bebilang waktu. Oleh sebab untung manusia tidak dapat ditentukan, itulah sebabnya sangat ingin hatiku hendak mengetahui bagaimanakah hatimu kepadaku atau hanya aku sendiri yang rindu seorang? Sambil memegang tangan Nurbaya.
Samsu menghampiri Nurbaya lalu bertanya perlahan-lahan dengan mendekatkan kepalanya kepada kepala Nurbaya, ”Sudikah engkau kelak menjadi istriku, apabila aku telah berpangkat dokter?”
”Masakan tak sudi,” sahut Nurbaya perlahan-lahan sebagai takut mengeluarkan perkataan ini....
Maka diciumlah oleh Samsu perlahan-lahan punggung tangan perawan ini.
Sekarang maklumlah engkau, bagaimana takkan khwatir hatiku meninggalkan engkau.
Terimalah olehmu dokoh ini! di dalamnya ada gambarku. Nurbaya menerima tanda tanda mata dari Samsu laulu diciumnya, sedang air matanya jatuh bercucuran.
Sekalian merela, menangis mencucurkan air mata, karena hampir sekaliannya sayang kepada Samsu, sebab adat dan kelakuannya yang baik.
Akhirnya ia pergilah kepada Nurbaya, lalu dipeganglah tangan gadis ini beberapa lamanya, sebagai tak hendak didepannya. Dadanya rasakan sesak menahan kesedihan yang timbul dalam hatinya karena perceraian ini, sehingga ia tiadalah dapat berkata-kata lain daripada, ”Selamat tinggal Nur....! Mudah-mudahan lekas bertemu kembali. ”
Nurbaya pun tiada pula dapat menjawab apa-apa melainkan ”Selamat jalan Sam!..... selamat sampai ke Jakarta!”

Bab VI
Datuk Maringgih

Di kampung ranah, di kota Padang adalah sebuah rumah kayu, beratapkan seng, letaknya jauh dari jalan besar, dalam kebun yang luas, tersembunyi di bawah pohon-pohon kayu yang rindang. Jika ditilik pada alat perkakas rumah ini dan susunannya, nyatalah rumah ini suatu rumah yang tiada dipelihara benar-benar karena sekalian yang ada dalamnya telah tua kotor dan tempatnya tiada teratur dengan baik.
Itulah rumah Datuk Maringgih, saudagar yang termasyhur kaya di Padang. Ia bergelar Datuk bukanlah karena ia penghulu adat, melainkan panggilan saja baginya. Walaupun rumahnya ini katanya sekedar tempat gendi kereta dan kuda dengan kursinya, tetapi memang itulah rumahnya yang sesungguh-sungguhnya. Karena di sanalah ia tetap tinggal. Sedang sebuah daripada tokonya yang dikatakannya rumahnya yang sebenar-benarnya.
Datuk maringgih ini bukan seorang yang masih muda, remaja dan bersikap tampan, melainkan seorang tua renta yang buruk.
Saudagar ini adalah seorang saudagar yang bakhil, loba dan tamak, tiada pengasih dan penyayang serta bengis, kasar budi pekertinya. Oleh sebab itu kerap kali dipermain-mainkannya hartanya itu dan dibawanya tidur bersama-sama untuk mendapatkan mimpi yang menyenangkan hatinya.
Tetapi ingat! Kata datuk maringgih pula, kalau tak sampai maksudku ini tak perlu engkau datang-datang lagi kemari.
Mendengar perkataan ini, berdebarlah hati pendekar lima, karena artinya tentulah ia akan dilepaskan oleh datuk maringgih, apabila maksudnya ini tak sampai.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu kelihatanlah pendekar lima keluar dari dalam bilik tadi lalu hilang di dalam gelap.

Bab VII
Surat Samsul Bahri kepada Nurbaya

Tiga bulan Samsul Bahri berangkat ke jakarta, meninggalkan tanah airnya. Sejak hari perceraiannya, sampai kepada waktu itu kekasihnya ini tiada hilang barang sekejap pun dari ingatannya.
Mula-mula pada sangkanya akan mudah melipur pikirannya, apabila kesedihan hatinya telah hilang. Akan tetapi setelah sepekan lamanya ia bagaikan demam dan setelah sembuh pula ia kembali pada lahirnya, pada batinnya bertambah-tambah ia menanggung kesakitan.
Ketika itulah baru diketahuinya benar-benar betapa besar harga saudaranya dan kekasihnya itu baginya. Karena ketika itu pula dirasainya benar-benar keberatan perceraiannya itu.
Jika datang godaan yang sedemikian itu, dicobanyalah melipur hatinya dengan pikiran ini: Samsu tiada lama lagi akan kembali dan tentulah ia akan dapat bertemu kembali dengan dia. Apabila Samsu menjadi dokter, tentulah ia akan beroleh kemudian dan kesenangan pula.
Tatkala Nurbaya berpikir-pikr sedemikian itu, tiba-tiba didenarnya suara surat pos, sehingga terkejutlah ia. Di tangga rumahnya dilihat seorang tukang pos berdiri memegang sepucuk surat.
Maka Nurbaya berseri, ketika melihat surat itu karena besar hatinya dan pada bibirnya kelihatab gelak senyum, yang mencekung kedua pipinya, menambah manis rupanya. Bertambah-tambah menerima surat dari Nurbaya.
Tatkala Nurbaya membaca surat, berlinang-linanglah air matanya, karena untungnya pun sedemikian pula.
Adikku Nurbaya!” demikianlah bunyi surat itu, ketika terus dibaca oleh Nurbaya.”Begitulah penanggunganku. Bukan bukan sedikit beratnya perceraian rasanya. Bukan engkau saja yang terbang di mataku.”
Setelah dibacaa oleh Nurbaya surat itu, lalu diciumnya dan diletakkannya ke atas dadanya, ketempat jantungnya yang berelebar kemudian disimpannya dalam lemari pakaiannya, bersama-sama dengan surat yang lain, yang telah diterimanya dari kekasihnya itu.
Tiba-tiba kira-kira pukul dua malam, terbangunlah ia daripada tidurnya dengan terperanjat karena didengarnya bunyi tabuh pada segala tempat sangat, dahsyat memberi tahu ada rumah terbakar.
Bertanyalah penghuku pada orang jaga yang ada di sana. Akhirnya tiada dapat lagi Sutan Mahmud berbendi, di situ nyatanya yang terbakar itu adalah toko baginda Sulaiman, ayah Nurbaya, yang telah habis dimakan api.

Bab VIII
Surat Nurbaya kepada Samsul Bahri

Keberatan dan kesusahan yang sangat dideritanya pada mula-mula mereka datang ke Jakarta, hilanglah sudah dan biasalah mereka pada kehidupannya yang baru. Hanya ingatan dan rindu hati Samsul Bahri kepada Nurbayalah yang tiada hendak berkurang-kurang., bahkan kian hari kian bertambah rasanya. Sehingga terkadang-kadang hampir tak dapat ditanggungnya denda yang sedemikian itu. Terlebih-lebih dalam beberapa hari ini, hatinya sangat rawan bercampur sedih, dengan tiada diketahuinya apa sebabnya: sebagai adalah sesuatu marabahaya yang telah jatuh ke atas diri kekasihnya itu. Oleh sebab itu mekinlah ia teringat kepada Nurbaya dan demikianlah bertambah ingin hatinya hendak bertemu dengan adiknya itu.
Heran, katanya dalam hatinya, tatkala ia duduk termenung seorang diri di atas sebuah batu dalam pekarangan sekolah. ”Mimpiku yang dahulu itu datang pula menggoda pikiranku. Semangatlah hatiku, tatkala ingatan kepada mimpi celaka itu mulai hilang.
Sedang ia berpikir-pikir sedemikian, datanglah Arifin membawa sepucuk surat yang dialamatkan kepada Samsu. Tatkala dilihatnya alamat surat itu nyata datangnya dari Nurbaya , masuklah ia ke dalam biliknya, sehingga hancur kaca bingkainya, sedang potret itu sendiri rusak pula dari Nurbaya.
Kekasihku Samsul Bahri
Walaupun kuketahui, bahwa surat yang malang ini yang telah kutulis dengan air mata yang bercucuran dan hati yan sangat sedih lagi pedih, terlebih daripada diiris dengan sembilu dan dibubuh asam, garam, serta pikiran yang kelam kabut dan membawa kabar yang sangat duka cita kepadamu. Aku menulis surat ini, karena takut kalau engkau bersangka bahwa sesungguhnyalah hatiku telah berpaling daripadamu.
]biarlah aku bersumpah terlebih dahulu, barangkali engkau percaya kembali kepadaku. Wallah wa nabi, tiadalah hatiku berubahy dari sediakala kepadamu dan tiadalah ada ingatanku akan menyakiti hatimu dan memutuskan pengharapanmu. Sesungguhnya aku beribu kali lebih suka mati berkalang tanah daripada hidup bertemu bangkai bebagai ini, dan jika tiada takut dan tiada ingat aku akan engkau, pastilah kubunuh diriku supaya jangan menanggung sengsara lagi.
Disitu tak dapat lah Samsu membaca surat ini lagi, sehingga menjadi kembang dan huruf yang tertulis di atasnya menjadi kurang terang. Oleh sebab itu dilampauilah oleh Samsu tulisan yan kuran terang itu, lalu dibacanya lanjutkannya.
Bagaimana rasa hati ayahku ketika mendengar kabar itu, tak dapatlah kuceritakan di sini, melainkan Allah jugalah yang mengetahuinya.
Tiada lama kemudian daripada itu, rupanya ayahku meminjam duit kepada Datuk Maringgih, banyaknya sepuluh ribu dengan janji itu bagi ayahku, tiadalah kuketakui. Barangkali akan membayar utang atau akan dipinjamkan pula membangunkan perniagaan yan telah jatuh itu.
Setelah sampailah tiga bulan, datanglah Datuk Maringgih meminta uang kembali, katanya sebab perlu dipakainya. Tetapi ayahku tiada beruang lagi, walaupun ayahku minta janji tiadalah diperkenankannya.
Oleh sebab itu, tatkala akan sampaikan janji ayahku itu kepada Datuk Maringgih pada malamnya, datanglah ia kepadaku, bertanyakan pikiranku tentang hal ini, karena keesokan tentulah akan datang Datuk ini mendengar keputusan kami.
Setelah Datuk Maringgih menagih piutangnya, tiadalah aku dapat tidur setiap malam, melainkan selalu menangis bersedih hati. Kerap kali aku terkejut, karena sebagai kelihatan olehku Datuk Maringgih datang menguasai aku. Dengan demikian badanku menjadi kurus kering tinggal kulit membalut tulang. Jika engkau melihat aku sekarang ini, pastilah tak kenal lagi engkau kepadaku.
Karena engkau sendirilah memutuskan perkara ini, jika sudi engkau menjadi istri Datuk Maringgih, selamatlah aku tak masuk penjara dan tentulah tiada akan terjual rumah dan tanah kita ini.
Tatkala ayahku melihat halku sedemikian itu, air matany tak ditahannya. Lalu diciumnya kepadaku sambil berkata, ”Nurbaya, sekali-kali aku tiada berniat hendak memaksa engkau, jika tak sudi engkau, sudahlah, tak mengapa.”
Tatkala mendengar perkataan ayahku ini, merentakkan ia dengan marahnya lalu berkata, ”jika demikian tanggunglah olehmu!” Lalu diserahkannya perkara itu kepada pegawai Belanda.
Ayahku tiada dapat menyahut apa-apa lian daripada, ”lakukan kewajiban tuan-tuan!”
Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada ku ketahui, keluarlah aku, lalu berteriak jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Maringgih.
Mendengar perkataan itu tersenyumlah Datuk Maringgih dengan senyum yang pada penglihatanku sebagai senyum seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya, dan terbayanglah suka citanya dan berahi serta hawa nafsu hewan kepada matanya, sehingga terpaksa aku menutup mataku.
Setelah menangis amat sedih beberapa lamanya, tiba-tiba berdirilah ia dengan muka yang amat pucat dan mata yang bernyala-nyala, karena menahan marahnya, dipegangnyalah poto Nurbaya yang ada detetnya sambil mengangkat mukanya lalu bersumpah.

Bab IX
Samsul Bahri Pulang ke Padang

Setelah tiga hari puasa dijalankan, pada keempat harinya, masuklah sebuah kapal yang datang dari Jakarta ke Pelabuhan Teluk Bayur, membawa murid-murid sekolah Jakarta.
Diantara murid-murid itu adalah Samsul Bahri dengan ssahabatnya Arifin dan Bakhtiar.
Siti Mariyam takut kalau-kalau Samsul telah putus asa pengharapan pula. Bertanyalah ia kepada Samsu, ”Sudahkah engkau tahu bahwa Nurbaya telah kawin dengan Datuk Maringgih?”
”Sudah,” jawab Samsu dengan pensek, karena tak dapat rupanya ia mendengar lagi kabar itu.
Barangkali engkau kurang suka melihat perkawinanini, sebab sesungguhnya tak layak saudaramu itu duduk dengan Datuk Maringgih.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, keluarlah Samsu dari ruah orang tuanya, diiringkan oleh kusir ke rumah baginda sulaiman.
Sangat terperanjat Samsu serta sedih hatinya melihat perubahan ayah Nurbaya ini. Apabiladi tempat yang lain ia bertemu baginda sulaiman, tentulah tiada percaya ia yang berbaring itu memang mamanda angkatnya.
Tatkala itu tiba-tiba masuklah Nurbaya ke dalam bilik itu. Sesungguhnya Nurbaya telah lama datang, karena dipanggil oleh ayahnya, akan tetapi ketika didengarnya suara Samsul Bahri dalam bilik ayahmnya, tiadalah tahu apa yang hendak dibuatnya.
Setelah didengarnya janji Samsu kepada ayahnya, barulah hilang bingungnya, bertukar dengan suka yang sangat. Karena sekarang diketahuilah bahwa hati kekasih dan saudaranya ini, tiada berubah kepadanya.
Ketika Samsu memandang muka Nurbaya, dengan sekonyong-konyong terbukalah mulutnya, tiada berkata-kata, hatinya suka bercampur duka.
Tatkala terpandang oleh Nurbaya, Samsu pura-pura terperanjatlah ia.

Bab X
Kenang Kenangan Kepada Samsul Bahri

Hai pungguk! Mengapakah engkau merindu sedemikian itu, seraya memandang dengan tiada berkeputusan kepada bulan yang tinggi itu? Apakah yang menjadikan sedihmu itu, dan apakah maksud perbuatanmu itu?
Aduh bulan, aduh jiwaku, jantung hatiku, cahay mataku! Bilakh engkau turun ke dunia ini, melihat aku yang sekian lama mengandung rindu dendam kepadamu? Bilakah engkau jatuh ke bumi, ke atas pangkuanku untuk mengobati luka hatiku yang telah tembus kena panah berahi merindukan engkau dengan tiada mengindahkan jerih dan lelah.
Aduh kekasihku yang sangat kucintai! Betapakah ahirnya aku ini? karena semenjak aku kau tingalkan, adalah halku ini sebagai orang yang tiada bernyawa lagi dan adalah dunia ini rasanya telah menjadi sangat sempit.
Maka bercucuran pula air mata perempuan ini, sedang ia menangis sedemikian itu. Tiba-tiba dirasakannya bahunya dipegang orang dari belakang dan didengarnya suara orang yang lemah lembut.

Bab XI
Nurbaya Lari ke Jakarta

Pada sebuah kedai, yang ada di Teluk Bayur, kelihatan seorang laki-laki tua yang sebentar-sebentar menjenguk ke luar lalumengintip ke sana-sini, sebagai takut memperlihatkan dirinya. Setelah masuknya ia kembali ke dalam kedai itu, lalu berkata kepada perempuan muda, rupanya tak ada orang yang tahu akan perjalanan kita ini ke jakarta.
”Baiklah kak pendekarlima,” jawab pendekar tiga. Tiba-tiba kelihatan seorang laki-laki yang berpakaian serba hitam datang dengan cepat mendekati Nurbaya yang seang duduk di kursinya, tak dapat berdiri, karena pusing. Dengan segera orang itu memegang badan Nurbaya lalu mengangkat dan membawanya ke sisi kapal, hendak melemparkannya ke dalam laut. Tatkala dilihat oleh Nurbaya orang itu adalah pendekar lima yang dikenalnya, hendak menikam Samsul Bahri dahulu. Berteriaklah ia minta tolong serta berkuat hendak melepaskan dirinya dari penjahat ini.

Bab XII
Percakapan Nurbaya Dengan Alimah

Perkumpulan yang tiada sabar, terkadang-kadang, karena sangat sakit hatinya dipermalukan, bukan pekasih yang diberikannya kepada suaminya yan sedemikian, tetapi racun. Sehinga bertambah-tambah lekslah ia berpulang ke negeri yang baka.
Setelah sampai ia ke jalan besar, tiba-tiba keluarlah seseorang yang memakai baju serba hitam dari balik pohon kayu lalu menghampiri tukang kue itu, setelah dekat bertanyalah ia, ”Bagaimana, pendekar empat?”
”Dibelinya, dan aku berikan yan bergula enak.”
”Bagus, sekarang marilah kita pergi lekas-lekas dari sini.”
Turutlah aku! Lalu hilanglah keduanya pada tempat yan gelap. Pada keesokan harinya, tatkala sampai kabar kematian Nurbaya ini pada siti maryam yang sedang sakit keras di kampung sebelah, karena terkejut ditinggalkan oleh anaknya Samsu. Tiba-tiba berpulanglah pula ibu Samsul Bahri ini, sebab kabar ini rupanya sangat menyedihkan hatinya.

Bab XIII
Samsul Bahri Membunuh Diri

Sambil dipikir-pikir demikian, dibukanyalah kedua surat kawin itu dengan tangan yang gemetar. Setelah dibacanya kedua surat itu, jatuhlah ia pingsan tiada kabarkan dirinya, sebab kedua syart irulah yang membawa kabar kematian Nurbaya dan ibunya.
Beberapa lamanya ia terbaring pingsan itu, tiadalah diketahui ketika ia sadarkan dirinya pula, adalah halnya seperti orang yang gila, tak dapat berpikir dan berkata-kata.
Tatkala pintu balik ini akan ditutupnya, diperhatikannyalah segala benda yang telah dipergunakannya sekian lama. Setelah itu ditariknyalah pintu ini dengan keras, sebagai takut ia memandang lama-lama sekalian perkakas yan akan ditinggalkannya itu.
Tiba-tiba menolehlah ia kepada sahabatnya ini sebab didengarnya Samsu berkata, ”Sekarang engku jangan marah, Raf, sebab aku akan meninggalkan engkau.”
Tatkala yang diperhatikan Arifin benar-benar orang ini, nyatalah yang duduk itu Samsu, yang sedang mengacungkan sebuah pistol ke kepalanya. Dengan tiada berpikir lagi menjeritlah ia, ”Samsu, ingat akan dirimu!” sambil melompat memburu sahabatnya itu.
Akan tetapi terlambat, karena tatkala itu didengarnya bunyi pistol dan dilihatnya Samsu rebah ke bangku.

Bab XIV
Sepuluh Tahun Kemudian

Sepuluh tahun sudah Samsul Bahri menembak diri di Jakarta, kelihatanlah pada suatu hari, kira-kira pukul lima petang, dua orang opsis berjalan perlahan-lahan serta bercakap-cakap, menuju stasium kereta api di Cimahi. Walaupun kedua mereka itu sama-sama sama petah lidahnya berkata dalam bahas Belanda dan pakaiannya serupa pula, tetapi dari jauh, telah nyata sangat berlainan.

Bab XV
Rusuh Perkara Belasring di Padang

Sudahkah engkau duduk melelo mendengar kabar yang kurang baik itu? Tanya seorang tua di Pasar Bukit Tinggi kepada temannya. Kabar apakah itu, engkau malim batuah? Sahut sahabatnya. Kompeni akan meminta uang belasting kepada kita, jawab malim batuah.
Oleh sebab pemerintah merasa khawatir anak negeri tiada hendak menurut saja aturan baru ini, melainkan boleh jadi membantah, bermufakatlah pegawai-pegwai Belanda dengan pegawai anak negeri di Padang Hilir dengan tuanku-tuanku penghulu, di Padang Hulu dengan tuanku-tuanku laras untuk mencari akal yang baik, supaya dapat juga menjalankan belasting itu dengan aman.

Bab XVI
Peperngan Antara Samsul Bahri dan Datuk Maringgih

Kabar kedatangan bala tentara ini sekejap juga pecah kesana-kemari, sampai ke luar-luar kota, sehingga perempuan dan ank-anak pun tahu hal ini. Maka ramailah dibicarakan peperangan yan akan terjadi. Yang penakut, larilah bersembunyi ke gunung-gunug dengan anak bini dan harta bendanya, yang berani tinggallah di dalam kota, karena ingin hendak melihat tamasya peperangan.
Tatkala berbunyilah bedil kedua kalinya, rebahlah sebaris orang yang dimuka jatuh ke tanah. Oleh sebab cepat datang mereka menyerbukan dirinya, serdadu-serdadu, letnan, tiadalah sempat menembak lagi, lalu mempergunakan bayonetnya.
Tiada berapa lamanya beperangan itu, banyaklah yan mati dan luka pada kedua belah pihak. Untunglah pada waktu itu juga kedengaran tempik sorak serdadu letnan van stat, yang menyerbukan diri ke medan perang.
Tetapi tatkala itu juga Datuk Maringgih melompat ke mulia, menetak Samsul Bahri dengan parangnya, sambil berteriak, rasailah pula olehmu bekas tanganku, hai anjing Belanda!


IV. Biografi Penulis
MARAH RUSLI, nama lengkapnya Marah Rusli bin Sutan Abubakar, dilahirkan pada tanggal 7 Agustus 1889 di Padang, Sumatera Barat.
Riwayat Pendidikan:
1904 Taman Sekolah Rakyat di Padang
1909 Taman Sekolah Raja di Bukittinggi
1915 Taman Sekolah Dokter Hewan di Bogor
Pengalaman Kerja :
1915-1922 Menjadi dokter hewan di berbagai tempat di Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat
1923-1945 Menjadi dokter hewan di Semarang
1945-1949 Menjadi dokter hewan di zaman pengungsian di Sala dan Klaten, kemudian ke Semarang dan pensiun tahun 1951.
1952-1960 Dipekerjakan kembali sebagai dokter hewan di Pusat Pendidikan Peternakan Bogor.
Marah Rusli meninggal dunia tanggal 17 januari 1968, dimakamkan di Bogor. Selain mengarang, Marah Rusli juga mempunyai hobi berolahraga, musik, melukis dan sandiwara. Buku-buku karya Marah Rusli yang lain di antaranya Anak Dan Kemenakan, La Hami, Memang Jodoh, dan Gadis Yang Malang (terjemahan dari novel Charles Dickens).

Disadur dari : http://kd-sumedang.upi.edu/index.php?option=com_content&view=article&id=183:marah-rusli-sitti-nurbaya&catid=57:sejarah-sastra&Itemid=75