A. Strukturalisme Transedental
Ada
jarak sosio-historis yang sangat jauh antara gejala sosial lima belas abad yang
lalu di Arab pada konteks sosial dengan konteks sosial masyarakat masa kini dan
di sini. Pada masa itu masyarakat praindustrial, masyarakat kesukuan (tribal
society), dan masyakat homogen, sedangkan sekarang kita menghadapi masyarakat indutrial,
masyarakat kenegaraan (civic society), dan masyarakat heterogen.
1) Struktur
Meskipun banyak varian keilmuan, kaum strukturali
mempunyai persamaan dasar (common sense),
yaitu gagasan mengenai struktur. menurutWebster’s
International Dictionary, kata structure berasal dari bahasa latin structure yang artinya bangunan, dari structus atau stuere yang berarti menyusun. Lima arti dalam kamus itu semuanya
merujuk pada bangunan dalam arti konkret (misalnya bangunan) atau bangunan
dalam arti abstrak (social structure,bangunan
sosial). Jean Piaget dalam Structuralism (New
York : Harper dan Row, Publisher,1970) menyebutkan tiga cri dari struktur,
yaitu (1) wholenes (keseluruhan), (2)
transformation (perubahan bentuk),
(3) self- regulation (mengatur diri
sendiri).
a. Keseluruhan
Keseluruhan merupakan suatu koherensi. Suatu
struktur itu sudah lengkap dan bukan semata- mata terdiri dari kumpulan
unsur-unsur yang lepas. Unsur-unsur dari suatu struktur tunduk pada hukum yang
mengatur keseuruhan struktur, unsur tidak berdiri secara terpisah akan tetapi
merupakan menjadi milik suatu struktur. Misalnya : Islam (menyerah kepada
Tuhan) sebagai keseuruhan mempunyai unsur-unsur seperti shaat, zakat, dan
puasa. Masing- masing unsur memiliki hukum sendiri akan tetapi dalam Islam ada
gagasan mengenai Islam yang Kaffah (QS.
Albaqarah: 208) yang tidak dapat disusutkan menjadi satu per satu unsur- unsur
Islam. Orang yang shalat dengan baik, membayar zakat dengan penuh, dan puasa
dengan baik, belum tentu sempurna keIslamannya. Akan tetapi untuk sampai kesana
butuh loncatan pengetahuan.
b. Perubahan
Bentuk
Strutktur bersifat tidak statis, karenanya gagasan mengenai
perubahan bentuk itu penting. Struktur memperkaya diri dengan menambah bahan-
bahan baru. Bahasa misalnya dapat menambah variasi ungkapan.
Islam yang tumbuh dalam rentang waktu 23 tahun masa
kerasulan Nabi SAW. Karenanya transformasi itu terjadi dalam masa
pembentukkannya secara temporal, yakni transformasi dari Islam yang semata-
mata sebagai gerakan keagamaan pada priode Makkah menjadi gerakan
sosial-politik pada priode Madinah. Islam juga mengalami transformasi spatial, historis, dan sosial. Misanya
dari agama kota (Makkah, Madinah pada abad ke-7: pedagang dan birokrat) menjadi
agama orang desa (Jawa, abad ke-16 : Petani) kemudian menjadi Islam politik
pada masa kerajaan.
c. Mengatur
Diri Sendi
Penambahan unsur- unsur baru tidak pernah berada di
luar struktur, tapi telah memelihara unsur itu sendiri. Dengan demikian, Suatu
struktur itu melestarikan diri sendiri dan tertutup dari pengaruh dari luar.
Contohnya tradisi pengambilan hukum meaui Ijma’(konsensus ulama), qiyas (analogi), fatwa, dan ijtihad
selalu menjadikan Al-qur’an dan Assunah sebagai rujukan, sehingga penambahan
unsur baru harus mempunyai kaitan yang jelas dengan Islam secara keseluruhan.
2) Strukturalisme
Ciri strukturalisme
menurut Michael Lane dalam introduction
to structuralism (New York : Basic Books Inc.1970) :
a. Inter-connectedness
(keterkaitan antar unsur)
Keterkaitan sangat
ditekankan dalam Islam. Misalnya keterkaitan antara puasa dengan zakat,
hubungan vertikal (dengan Tuhan) dengan hubungan Horzontal (antar manusia), dan
antara shalat dengan solidaritas sosial. Keterkaitan itu misalnya secara
eksplisit antara Shalat dengan solidaritas sosial, dalam surat Alma’un
disebutkan termasuk mendustakan agama bagi
mereka yang shalat tetapi tidak mempunyai kepedulian sosial terhadap
kemiskinan.
b. Innate
structuring capacity (kekuatan pembentuk struktur)
Dalam Islam, tauhid mempunyai
kekuatan membentuk struktur yang paling dalam. Sesudah itu ada deep structure, yaitu akidah, ibadah,
akhlak, syari’ah, dan muammalah.
a. Binary
opposition (pertentangan antara dua hal) dua gejala yang saling bertentang juga
terdapat di dalam ajaran Islam, yaitu pasangan (azwaj) dan musuh (aduwwun)
yang masing- masing menghasilkan equilibrium dan pertentangan. Misalnya :
Equilibrium,
pertentangan antara kehendak Tuhan dengan kehendak manusia, badan dengan ruh,
lahir dan bathin, alaki-laki dan perempuan, dunia dan akhirat, muzaki dan mustahik, orang kaya dan miskin, dan sebagainya.
Konflik, antara Tuhan
VS setan, zhulumat VS Nur, mukmin VS
Musyrik, Halal dan haram.
b. Strukturalisme
memperhatikan unsur- unsur yang bersifaf Sinkronis,
Bukan diakronis. Unsur- unsur dalam
satu waktu yang sama bukan antar waktu, diakronis, atau historis.
1) Transedental
Berasal dari bahasa
latin transcender yang artinya
memanjat di/ke atas. Dari lima arti dalam Webster’s
New International Dictionary yang dekat dengan keperluan kita adalah transedental
dengan makna “abstrak, metafisis” dan “melampaui”.
Dalam khazanah
kesusastraan Indonesia orang menyebut sastra yang dihasilkan oleh orang- orang
seperti Sutardji Calzum Bachri dan Abdul Hadi W.M dalam puisi dan Danarto dalam
cerita pendek. Ketika pengarang itu memakai masalah- masalah spiritual, masalah
ketuhanan,sebagai tema. Sekarang ini Sastra Transedental sangat diperlukan
karena kemanusiaan hanya mungkin diselamatkan dengan iman.
Transedensi seperti
dalam tadisi Nabi Ibrahim merupakan kunci bagi penyelamtan manusia modern. Teknologi,
Ilmu, dan manajemen memang membawa kemajuan akan tetapi gagal membawa
kebahagiaan. Kekerasan adalah akibat dari kemajuan teknologi perang, kekuasaan
pasar adalah buah dari penguasaan ilmu, kesenjangan adalah hasil ketimpangan
manajemen. Semuanya tanpa iman. Transedental dalam arti spiritual akan membawa
manusia menyelesaikan masalah- masalah modern.
Pertanyaan yang mungkin
mengganggu pikiran kita adalah bagaimana mungkin kita menerapkan episteme (sistem pengetahuan pada suatu
waktu- istilah Michel Foucault) sosial yang lahir lima belas abad yang lalu
kepada masa kini. Ada jarak geografis, historis dan sosial.
Pendek kata, ada
loncatan peradaban sejak Islam ditumbuhkan sampai di Indonesia sekarang. Tanpa kesadaran
sejarah, kita akan gagal memahami peryubahan- perubahannya, seolah- seolah
tanpa kecuali Islam dari abad ke-7 itu tidak mengalami transformasi karena
abadi dan universal.
Jarak antara masyarakat
petani dengan masyarakat industri yang begitu transparan bagi ilmuwan sosial
sering tidak disadari oleh tokoh-tokoh umat. Masyarakat petani dan
praindustrial sangat tergantung pada ahklak perorangan sedangkan masyarakat
industrial sangat tergantung pada akhlak kolektif. Dapat saja terjadi perorangan
masyarakat menunjukkan iman dan takwa, tetapi institusi tidak shaleh sehingga
masyarakatnya penuh kemungkaran.
Bagian terbesar fiqh
pastilah berasal dari zaman praindustrial sehingga dapat difahami kalau ada ulama yang sangat mendukung
kekuasaan. Lagi pula masalah- masalah birokrasi, kepemimpinan kolektif,
hubungan negara dengan negara, hubungan negara-masyarakat, kekuatans sosial,
dan jaminan sosial pada umumnya pastilah luput dari perhatian. Pada waktu itu
belum ada social division of labor yang
kompleks sehingga masalah kelas pastilah tidak masuk dalam agenda- agenda
fiqih. Kemasukan masalah- masalah modern memberi kesan seolah- olah Islam tidak
berbicara apa-apa dan karenanya tidak berhak berkata tentang masalah- masalah
masa kini.
Strukturalisme Transedental
Dalam Islam sejumlah
agenda baru diperlukan supaya agama “sesuai” dengan perubahan- perubahan, yaitu
supaya unsur-unsur muammalahnya tidak ketinggalan zaman. Agenda baru itu dapat
menjadi lahan bagi ijtihad. Pendekatan
lama yang bersifat individual tetap diperlukan sebab individulah yang akan
mempertanggungjawabkan. Namun diperlukan perluasan, perluasan itu berupa enam
macam kesadaran, yaitu (1) kesadaran adanya perubahan (2) kesadaran kolektif
(3) kesadaran sejarah (4) kesadaran adanya fakta sosial (5) kesadaran adanya
masyarakat abstrak (6) kesadaran perlunya objetifikasi
· Kesadaran adanya perubahan. Ada
gambaran di kalangan umat bahwa pemimpin agama itu tidak berubah dari waktu ke
waktu, peran dan kualifikasinya. Padahal di pedesaan sendiri peran kiai sebagai
cutural broker sudah banyak
digantikan. Kehadiran birokrat, guru, PLP, radio dan TV telah banyak
menggantikan peran kiai.
suatu angket majalah
Ummat menunjukkan bahwa rupa-rupanya, kelas menengah kota meletakkan sikap
kritis sebagai kriteri utama. Nama H.M Amien Rais jauh berada di atas K.H
Zainuddin M.Z yang pernah menduduki rangking pertama dalam jajak pendapat Ummat sendiri. Kenyataan inilah yang
menegaskan perlunya kesadaran tentang perubahan.
· Kesadaran kolektif. Pada zaman kolonial dengan mudah kaum ulama
dipecah menjadi ulama rakyat dengan ulama negara. Demikian pula pada zaman orde
lama, ada ulama pro pemerintah dan ada ulama anti pemerintah. Realitas sejarah ini menunjukkan bahwa ajaran
tentang ummatan wahidah itu selalu
tenggelam oleh hiruk pikuk politik. Kalau kesatuan kolektif tidak bisa diusahakan dalam bentuk
(form, wujud luar) maka setidaknya harus ada kesadaran/kesatuan dalam isi
(substance,wujud dalam), sehingga jamaah apa pun yang di atas angin akan tetap menyuarakan Islam
yang sama. Kesadaran itu tidak hanya dalam masalah politik akan tetapi juga
dalam masalah ekonomi, budaya dan sosial. Banyak orang yang mengaku Islam akan
tetapi dalam ekonomi ia adalah seorang kapitalis. Sudah banyak kepustakaan
Islam tentang sistem ekonomi.
Dalam bidang sosial
sering orang lupa adanya kesatuan umat. Kita tidak sensitif kepada sebagian
umat yang kekurangan sandang, pangan, dan papan. Kebanyakan kita baru akan
sadar bahwa ada yang kurang pada kita ketika kekurangan itu memudahkan
pemurtadan.
· Kesadaran sejarah. Ada
continuum antara kesadaran individu ke kesadaran kolektif ke kesadaran sejarah.
Kaum muslim baru sampai pada kesadaran individu. Gambaran tentang masa depannya
dikaitkan dengan individu, tidak pernah dengan umat, apalagi dengan sejarah
umat. Kesadaran sejarah adalah kesadaran bahwa umat sebagai kolektivitas adalah
unit sejarah yang mau tidak mau terlibat dalam perkembangan sejarah. Kesadaran sejarah
berarti umat harus aktif sebagai subjek
yang menentukan sejarahnya sendiri, tidak hanya menunggu dikendalikan kekuatan
sejarah lain sabagai objek. Kita ambil contoh bahwa Islam memiliki cita- cita
ekonomi sendiri. Contoh lain dalam bidang politik sebagian umat Islam berada di
garis depan dalam pembentukan masyarakat madani (civil society) dengan clean government,
· Kesadaran adanya fakta sosial. Bila
orang baru sampai pada kesadaran individual pastilah sistem pengtahuannya baru
sampai pada fakta individu. Pada masyarakat tradisional, praindustrial, dan
homogen memang tidak terjadi masalah. Semuanya memiliki standar yang sama dalam
ahlakul karimah. Bayangkan dalam masyarakat
indutrial yang heterogen, kompleks dan dengan division of labor standar akhlakul karimah pastilah berbeda, di
samping adanya persamaan. Di sini muncullah sistem kelas, dalam hal ini kelas
majikan dan kelass buruh. Akhakul Karimah
bagi majikan adalah kelangsungan usahanya. Sedangkan bagi buruh adalah gaji
setinggi- tingginya.
Sejarah Indonesia
menunjukkan bahwa SI-merah lebih populer daripada SI-puti, dan PKI lebih
populer daripada partai-partai Islam, di kalangan buruh tani dan buruh karena
umat tidak sensitif dengan masalah munculnya proletarianisasi di pedesaan dan
di perkotaan. Itu semua karena umat gagal melihat fakta sosial yang muncul bersama
industrialisasi.
· Kesadaran adanya masyarakat abstrak.
Hubungan
dari muka ke muka hilang ketika muncul masyarakat abstrak. Dalam masyarakat indutrial
yang mengatur bukan orang tetapi sistem. Setiap orang diharapkan berpartisipasi
dalam masyakat yang abstrak, impersonal. Karakteristik perorangan harus bisa
menyesuaikan diri dengan sistem. Komunikasi keagamaan bergantung pada sistem
yang abstrak dan objektif, tidak kepada orang yang konkret dan subjektif. Umat harus
banyak memperhatikan komunikasi abstrak agar dakwah berhasil. Simbol memang
tidak berhadapan langsung dengan orang akan tetapi dapat memberikan rasa bangga
sebagai seorang muslim, mencegah seseorang untuk murtad atau menjadi sekular. Makin
modern suatu masyarakat makin abstrak masyarakat itu. Oleh karena itu tugas
umat adalah rekayasa ke arah masyarakat abstrak dengan sebanyak mungkin
memadukan 3 hal : agama, ilmu dan seni.
· Kesadaran perlunya objektifikasi. Masyarakat
industrial juga semakin plural, dan umat harus bisa menerima pluralisme itu sebagai
konsekuensi logis dari masyarakat kebangsaan. Dapat dibayangkan betapa berat Founding Father yang beragama Islam
harus menghapus tujuh kata dari Piagam Jakarta karena mereka pasti merasa bahwa
umat Islam sudah menumpahkan darah paling banyak untuk Indonesia. Akan tetapi
penghapusan itu terjadi. Kiranya perasaan yang sama akan melilit umat sekarang
ini, sebab antara tahun 1970-1990 terjadi marjinalisasi yang menyakitkan hati
umat. Namun sekali lagi dibutuhkan kesadaran bahwa umat menjadi bagian dari
bangsa yang plural. Karenanya
ada pekerjaan ganda bagi umat. Di satu pihak dia harus melakukan eksternalisasi ke dalam, dan di lain
pihak ia harus melakukan objetifikasi ke
luar. Objektifikasi ialah perbuatan objektif semata mengenai perbedaan eksternalisasi
dan objektifikasi selanjutnya.
dikutip dari : kuntowidjoyo. 2006. Islam dan Ilmu. Yogyakarta : Tiara Wacana