Mozaik 3
Kemarau
BARANGKALI karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena gerah. Barangkali karena musim kemarau yang terlanjur berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat tidak enak setelah bulan Maret sampai September.
Tak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di luar. Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk- liuk seperti belut sawah di atas panggung berhias pelepah kelapa di pinggir pantai, lebih menyanyikan maksiat daripada lagu. Tapi hanya lama- lama sekali, pun kalau harga timah sedang bagus- yang amat jarang bagus.
Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat perbelanjaan untuk dikunjungi. Yang sedikit perhatian hanya sebuah jam besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum panjangnya mengembuskan nafas terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu kemana. Melihat jam itu sejak kecil, aku punya firasat bahwa jika nanti dunia kiamat, kejadiannya akan tepat pukul lima.
Namun, tak pernah kami risaukan semua itu, sebab kami punya sebuah museum, dan museum kami adalah museum yang hebat di dunia ini. Tak ada yang bisa menandinginya sebab ia museum sekaligus kebun binatang.
Baiklah, mari bicara soal museum. Disana ada sebuah ruangan yang jika dimasuki harus membuka sandal dan mengucapkan Assalamualaikum, demi menghormati tombak- tombak karatan, peninggalan para hulubalang antah barantah. Uang kecil yang diselipkan ke dalam kotak di samping tombak- tombak itu dapat menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng mencari jodoh. Anak- anak yang tak sengaja menunjuk tombak- tombak ituharus mengisap telunjuknya, agar tidak kualat.
Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan- hewan berkeliaran. Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi oleh orang- orang yang ingin melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak seperti kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di dalam kalbunya. Ada orang utan uzur yang sudah ompong dan tampak terang- terangan menafsui bebek- bebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama sekali. Lalu ada singa tua kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa itu sepertinya sangat benci pada hidupnya sendiri. Mereka muak melihat orang- orang udik yang menonton mereka di dalam kandang. Konon mereka dihibahkan ke kampung kami karena telah afkir dari sebuah kebun binatang di Jawa, di mana mereka dianggap tidak sexy lagi. Namun, seperti segala sesuatu yang kami terima apa adanya, seperti segala sesuatu yang tak pernah berubah di kampung kami, mahluk- mahluk hidup segan mati tak mau itu selalu punya tempat di dalam kebun binatang kami, di dalam hati kami. Hewan- hewan itu menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari jenisnya masing- masing, jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur- umur. Sungguh mengerikan hidup ini kadang- kadang.
Jika kemarau makin menggelegak, aku menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal keruk yang termangu- mangu di pinggir sungai. Kapal itu hanya tinggal segunung besi rongsokan. Mesin besar nan digdaya, dulu selalu dikagumi anak- anak Melayu. Ketika meskapai Timah masih berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi bumi untuk meraup timah. Kini satu- satunya yang tertinggal, tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti fosil dinosaurus.
Kapal keruk pernah menjadi pendendang irama hidup kami, bagian penting dalam budaya kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama 24 jam. Takkan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh kapal keruk menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah pagi buta itu sambil menenteng rantang bekal makanan dari ibu.
Jika melihatku terbangun, ayah kembali untuk mengusap rambutku dan tersenyum. Dari dalam rumah kudengar ayah mengucapkan salam pada kawan- kawan kerjanya yang telah berdesakkan di dalam bak truk. Kawan- kawan kerjanya itu adalah ayah dari kawan- kawanku. Lalu kudengar gemerincing besi saling beradu, kemudian truk menggerung meninggalkan rumah.
Sering aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi itu. Karena aku ingin melihat ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh wibawa, yang ada taspen di sakunya, yang berbau sangat lelaki. Ayah melangkah tangkas sambil menyandang ransel berisi tang, ragum dan sekeluarga kunci inggris. Kunci- kunci baja putih itujika dibariskan akan membentuk suatu segitiga yang sangat hebat. Kubayangkan, tugas- tugas yang berat diemban oleh bapak kunci yang paling besar, dan tugas- tugas sepele adalah bagian anak- anaknya. Aku senang melihat ayah melompat ke dalam bak truk. Dia, pria yang gagah itu, adalah ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi, sambil tersenyum.
Berlangsung seperti itu, hari demi hari, selama bertahun- tahun, tak berubah, sejak masa lampau zaman pendudukan Belanda. Setelah dewasa, jika secara tak sengaja aku terbangun pukul dua pagi, di negeri mana pun aku berada, seakan kudengar suara klakson mobil truk, lalu menguar suara orang- orang mengucapkan salamdan gemerincing besi saling beradu. Aku termangu. Kerinduan pada ayah menjadi tak tertanggungkan. Tanpa kusadari air mataku mengalir, mengalir sendiri, tak mampu kutahan.
Mozaik 4
Gamang
JENAZAH ZAMZAMI digotong pulang dari ladang tambang. Setelah berunding singkat, diutuslah Sirun untuk menjemput Enong ke sekolahnya. Bu Nizam tengah mengajar bahasa Inggris ketika Sirun tiba. Ia terkejut mendengar berita buruk yang dibawa oleh Sirun.
Sirun sedih melihat Enong yang tengah menekuri bukunya dengan tekun. Ia mendekatinya. Seisi kelas memperhatikannya. Ia mencoba menahan perasaannya ketika mengajak Enong pulang. Enong bertanya mengapa diajak pulang. Sirun tak tega menyampaikan apa yang telah terjadi.
“Nanti saja, sampai di rumah, kau akan tahu.” Enong bergeming. Ia tak mau pulang. Katanya, ia sedang belajar dan ia senang pelajaran bahasa Inggris. Sirun mendesaknya berkali- kali. Ia beranggapan tak baik mengabarkan petaka yang menimpa keluarga anak kecil itu di depan teman- temannya.
“ Harus ada alasa, Pak Cik,” ujar Enong dengan jenaka.
“Harus ada alasan jika seseorang meninggalkan pelajaran, dan alasan itu harus kuat.” Pendapat itu disambut riuh teman- temannya. Apalagi, katanya, ia baru dibelikan ayahnya kamus. Ia kemudian mengatakan tentang menariknya pelajaran bahasa Inggris yang tengah diajarkan Bu Nizam.
“Pelajaran tentang anggota keluarga, Pak Cik,”ia memberi contoh.
“Mother artinya ibu, father- ayah, daugther – anak perempuan, son- anak laki-laki.” Kawan- kawannya tertawa melihatnya menjelaskan pelajaran bahasa Inggris kepada seorang kuli tambang. Bu Nizam tersenyum getir melihat semangat Enong dan mendengar pengucapannya yang kaku. Sirun membujuknya lagi. Enong tak mau. Ia berkata minta alasan. Sirun tak punya pilihan lain.
“Kau harus pulang, Nong, Ayahmu meninggal.”
Enong yang sedang ingin mengucapkan sesuatu tersentak.
Seisi kelas diam. Senyap, wajah Enong pucat. Ia menatap Sirun.
“Iya, Nong, pukul tiga tadi.”
Mata Enong mendadak merah.
“Pak Cik pasti salah. Aku baru dibelikan Ayah kamus bahasa Inggris. Sebentar lagi aku dijemput ayah,” suaranya bergetar- getar. Ia menatap Bu Nozam, minta dibela.
“Benarkah ini?”
“Benar, Nong, kecelakaan di tambang.”
Mata Enong berkaca- kaca, lalu ia terisak- isak. Ibu Nizam tampak sedih.
“Pulanglah, Nong,” katanya.
Enong menangis. Air matanya berjatuhan di halaman kamusnya.
Ø
Dari kejauhan, Enong melihat orang berduyun- duyun melayat dengan membawa rantang berisi beras. Di dalam rumah, jenazah ayahnya terbujur. Enong memeluk ibunya. Ia tak bisa lagi menangis.
Usungan jenazah dipikul ke pemakaman. Di antara para pelayat menguap kabar tentang makin banyaknya tambang menelan korban. Timah terbaik yang mengalir di permukaan bumi yang dangkal dan mudah ditambang telah dijarah Belanda selama ratusan tahun. Yang tersisa timah yang masih baik, namun lebih dalam, telah pula diraup oleh kapal- kapal keruk maskapai timah selama berpuluh tahun. Sisa dari yang tersisa, hanyalah timah buruk yang terlipat amat dalam di bawah tanah. Bulir demi bulir timah itu ditambang penduduk asli dengan pacul, didulang dengan tangan, dan dengan satu sikap dipaksa rela oleh kemiskinan untuk terkubur hidup- hidup. Berkubang berminggu- minggu hingga tak jarang hanya menghasilkan beberapa ribu rupiah. Di dalam tanah yang gelap itulah Zamzami menemui ajal.
Pulang dari pemakaman, Enong merasa heran mengapa banyak irang memandanginya. Maghrib menjelang Syalimah mengantar pelayat terakhir ke pekarangan. Anak- beranak itu memandangi jalanan kosong kerikil merah yang sekarang tampak seakan tak berujung. Mereka saling merapatkan diri demi mengumpu- ngumpulkan keberanian untuk menghadapi hari- hari esok, yang tak terbayangkan kerasnya.
Subuh esoknya, Syalimah lekas- lekas bangun demi mendengar suara panggilan azan. Ia ke dapur dan menanggar air. Ketika meniupkan siang untuk menghidupkan kayu bakar, ia tersentak karena sebuah kesenyapan. Ia baru sadar, untuk siapa ia menyeduh kopi ? ia bangkit dan beranjak menjauhi tungku tanpa merasakan kakinya menginjak lantai. Suara suaminya mengaji Alqur’an saban shubuh telah menemaninya menghidupkan api dapur berbelas tahun. Syalimah duduk termangu, berkali- kali mengusap air matanya.
Ø
Secara mendadak kehilangan tiang penopang, keluarga Syalimah langsung limbung. Tak punya modal, tak punya keahlian, dan tak ada keluarga lain dapat diminta bantuan— karena semuanya miskin— membuat keluarga itu mati kutu. Tak pernah terpikir nasib sepedih itu akan menimpa mereka secara sangat tiba- tiba. Sang suami adalah tulang punggung keluarga satu-satunya dan hal itu baru disadari sepenuhnya setelah ia tiada.
Sedangkan Enong, bermalam- malam tak bisa tidur. Ia gamang memikirkan apa yang selalu dikatakan orang tentang anak tertua. Namun, ia bahkan tak sepenuhnya paham makna tanggung jawab. Ia takut membayangkan akibat dari kata itu. Apakah ia harus bekerja? bagaimana ia akan menghidupi keluarga, seorang ibu, dan tiga orang adik? Apakah harus berhenti sekolah? Ia amat mencintai sekolah. Ia bingung karena masih terlalu kecil untuk membenturkan diri dengan perkara seberat itu. Sekarang ia paham mengapa waktu itu banyak pelayat memandanginya.
Belum sebulan ditinggal suami, Syalimah telah kehabisan beras. Bahkan, beras yang diantar orang ketika melayat itu pun telah habis. Ia mulai meminjam beras dari tetangga demi menyambung hidup hari demi hari. Enong tahu bahwa beberapa anak perempuan tetangga sesama keluarga pendulang telah berangkat ke Tanjong Pandan untuk bekerja sebagai penjaga toko, tukang cuci di rumah orang kaya, atau buruh pabrik. Ia berusaha meyakinkan ibunya bahwa ia bisa bekerja seperti itu. Apa susahnya menjadi penjaga toko? Katany.
Syalimah semula menolak. Berat baginya melepas Enong dari sekolah dan harus bekerja jauh dari rumah. Anak itu baru kelas enam SD. Tapi, ia akhirnya luluh karena Enong mengatakan tak bisa menerima jika adik- adiknya berhenti sekolah karena biaya. Ia sendiri rela mengorbankan sekolahnya. Ini adalah keputusa paling pahit bagi Syalimah. Putriny tak pernah sekalipun meninggalkan kampung, kini harus berjuang menghadapi hidup yang keras di kota. Ia sendiri tak mampu berbuat apa- apa karena tak bisa mengalihkan perhatian dari tiga anak lainnya.
Mozaik 5
Rahasia 23 Oktober
DIAM- DIAM sejak masih kecil dulu, telah kutandai, kalau hujan pertama musim hujan turun pas pada pada 23 Oktober, dan sore, pasti kampungku akan tampak lebih memesona. Jika sebelum dan sesudah hari itu, alam kacau- balau macam tak bertuan. Hujan tumpah sembarang waktu, sering menjadi badai dan banjir, kadang ia turun shubuh- shubuh, merepotkan orang yang ingin ke mesjid, sekolah, pasar, dan kantor. Singkat pula waktunya atau terlalu lama, sampai Mei tahun muka.
Kalau ia pertama kali turun pada tanggal 23 Oktober, nah ia akan mengguyur dengan teratur, usai ashar biasanya, lembut, berkawan, adakalany syahdu. Karena itu, banyak orang kawin pada bulan Oktober. Delima, angsana, kemang, dan kecapi akan memucuk bersamaan, jamur tiong yang indah dan dapat dimakan akan subur. Bunga bakung akan bersemi lebih awal sampai sempat dua kali berbuah sepanjang musim hujan itu. Akibatnya, burung punai akan makin besar rombongan migrasinya. Gelap awan selatan dibuatnya.
Tengah hari yang panas aan diusir awan kelabu yang dikirim angin dari barat. Satu masa ajaib yang singkat, meruap. Semua orang mendadak riang tanpa dapat dijelaskan mengapa. Sambil bersenda gurau, perempuan- perempuan Mengangkat jemuran pakaian yang hampir kering, lalu memekik rara riri, krat krut krut krut memanggil pulang ayam dan entok- entoknya. Lelaki tergopoh- gopoh meneduhi sepeda dan jemuran batu baterai. Pada momen emas itu, kami melompat dari rumah panggung, menghambur ke pekarangan mesjid Al- Hikmah, bertengkar- tengkar kecil di bawah menara mesjid soal rencan asyik untuk hujan sore yang segera tumpah. Guruh halus menggoda- goda.
Hujan akan berhenti tak sampai matahari terbenam. Kami beramai- ramai berlari ke tali air. Di bantaran danau, kami duduk saling berpeluk pundak, memandangi anak- anak belibis berenang berbaris- baris dan lingkar terang pelangi. Saban sore, selama musim hujan, seseorang memindahkan surga dari langit ke kampung kami.
Lalu, langit dikuasai berkawan- kawan burung punai yang memimpin kafilahnya, beribu- ribu jumlahnya, sampai gelap langit dibuatnya. Skuadron berwarna hijau itu melesat di atas danau tali air. Mereka tak peduli pada kami, bahkan mereka tak peduli pada kecantikan mereka sendiri, yang selalu kami kagumi sejak kami diizinkan orang tua bermain di pinggir danau itu. Yang ada di dalam kepala mereka hanya hamparan bakung yang ranum di nun hulu sungai dan bagaimana beradu cepat dengan kawanan lainnya agar tak kehabisan buah bakung. Punai- punai itu menyihir kami sampai mulut- mulut kecil kami ternganga. Mereka bak lukisan beterbangan di angkasa. Sang raja punai terbang paling muka. Jika menukik sedikit saja, ribuan punai di belakangnya serentak menukik. Jika ia berbelok, semuany berbelok. Sesekali ia bermanuver ke puncak- puncak pohon kenari yang ada di pekarangan rumah di kampung. Tapi sebentar saja, lalu sang raja mengepakkan sayapnya, dan terangkatlah ke udara permadani hijau itu. Hebat sekali raja punai itu. Dialah penguasa langit.
Awal Februari, secara misterius hujan beranjak ke malam hari. Ia mengunjungi kampung setiap malam dan baru benar- benar lenyap pada akhir Maret. Sebuah musim hujan yang sempurna pun sirna. Ia mohon diri lewat rintik- rintik lembut di ujung musim, lalu bersama kawannya sang guruh yang gagah perkasa itu, mereka pergi tak tahu ke mana.
Demikian teoriku tentang hujan pertama pada 23 Oktober. Teori yang konyol tentu saja sehingga tak pernah kukisahkan kepada siapa pun. Ia telah menjadi rahasiaku yang terpendam lama sejak aku kecil dulu.
Lambat laun, teori itu berubah menjadi semacam godaan. Aku sering meyakinkan diriku sendiri, bahkan memaksa untuk memercayai sesuatu yang dibangun di atas logika yang aneh. Aku, alam, dan hujan pertama, telah membentuk semacam persengkokolan, yang begitu ganjilnya sehingga di dunia ini, hanya aku yang boleh tahu. Aku malah sering merahasiakannya, dari diriku sendiri.
Namun, bukankah adakalanya, menyerahkan diri pada godaan dan memelihara rahasia, menjadi bagiandari indahnya menjalani hidup ini? Lagi pula aku yakin, suatu hari nanti, seorang cerdik cendekia, yang memahami ilmu hujan, akan menjelaskan padaku soal itu.
Sumber : Novel Dwilogi Padang Bulan
Karya : Andrea Hirata
1 komentar :
kren juga ada novel bersambung.......thanx yach...udah lama pengen baca ni novel tp harganya mahal banget
Posting Komentar