Jumat, 30 Desember 2011


Pagi yang agak sedikit pahit karena semalam mendapat pesan singkat dari seorang teman, agak terpukul tapi tak apalah. daripada meringkuk dingin di rumah lebih baik membungkus badan dengan jaket lusuh, eit tak usahlah menghina jaketku kawan baca sajalah. ingin melihat tempat pavoritku ketika pertama kali datang kesini apalagi kalau bukan ujung bukit. 
setelah menyapa orang yang kebetulan bertemu di jalan, iseng saja aku mengikuti salah seorang dari mereka. ternyata menuju ke sebuah tempat agak berlebihan kalau disebut peternakan itik tapi anggap saja ini istilah yang benar namun di sini cukup banyak itik petelur,orang sini biasa menyebutnya Itik Bayang.
Bau khas itik menyeruak,bau ini sudah cukup akrab denganku sejak beberapa bulan ini, tapi di sini perpaduan antara berbagai macam aroma yang terkombinasi secara apik antara aroma khas dedak sisa makanan, bau kotoran itik, plus aroma lumpur lembab dari sawah yang mengelilinginya, tak usahlah aku sebutkan mafhum sajalah, dengan menyebut kombinasi aroma tadi anggap saja hutangku untuk meringkas sebutan sekumpulan aroma tadi sudah lunas.
Dengan secangkir kopi seorang bapak separuh baya yang tidak kukenali sebelumnya menawariku minum, cerek berbahan seng masih dipanaskan di bawah tangga pondok. akhirnya aku memilih menyeduh sendiri kopiku,dengan cangkir ukuran sepertiga yang tentu saja akan lebih kecil daripada kopi yang dulu suka aku minum di Solok jika ngantuk pada jam mengajar, maka kopi seteng adalah temanku untuk mengatasi pagi di tempat dingin yang berat, tapi di sini ukuran agak sedikit kecil mungkin sepertiga, ah aku merasa tak asing dengan kondisi ini. Sengaja ingin kupadankan suasana hatiku dengan rasa kopi pahit....Asoiii, kekecewaan akibat praktek perdukunan itu masih belum hilang, kenapa seorang muslim masih saja percaya dengan praktek perdukunan padahal Rasulullah sudah jelas-jelas mengingatkan"Barangsiapa mendatangi seorang dukun, maka amal ibadahnya tidak diterima selama empat puluh hari dan barang siapa mempercayainya maka ia telah musyrik"...belum lagi kekecewaan ini hilang tapi datang pesan itu. hah kombinasi pagi Pahit- pahit, sepertinya menarik.
sejak umur 4 tahunan aku sudah masuk ambung dan selalu di bawa ke kebun, membakar ladang bukan hal baru bagiku, maka suasana semacam ini pun tak asing. tapi waktu itu aku masih terlalu kecil untuk menangkap makna  berada di tempat semacam ini. perpaduan antara kopi pahit ukuran sepertiga gelas dan aroma di sekitar menjadi aroma pagiku hari ini tiba- tiba berwarna, semangatku untuk sok tau menjadi human observer menyalak. aku diam tak bicara banyak, tapi melihat dan merenungi orang- orang di depanku, menggenggam benda sejenis cangkul tapi berukuran kecil hanya sejengkal lebih sedikit, sudah yah aku paksakan saja namanya cangkul jari atau pacul telapak tangan (suka-suka donk). asik sekali mencincang sagu untuk makanan para penghasil telur yang rakus itu, seorang bapak dan sepasang suami istri yang mungkin hanya berbeda 6 tahun dariku tapi sudah memiliki dua orang anak, dan seorang lagi biasa di sini yang agak sedikit aku kenal.
Mencincang, menumbuk dan membagikan makanan adalah pekerjaan yang mungkin sudah biasa bagi mereka, candaan dan tertawa kecil adalah bukti bahwa mereka bahagia dengan apa yang mereka lakukan. si kecil pun terlihat tidak masalah makan hanya dengan nasi yang di aduk dengan kuah sehingga agak berwarna kuning. sungguh berada di tempat ini membuatku memahami satu hal bahwa tak pernah ada istilah menganggur di negeri ini, pekerjaan kecil dengan penghasilan kecil pun tak masalah karena selagi kita bersyukur maka di sanalah kebahagiaan, maka rasanya terlalu bodoh kalau aku berpikir bahwa aku akan menjadi pengangguran frustasi dengan ijazah sarjanaku. Lihatlah mereka, kenyataan menunjukkan bahwa wajah mereka tidak tertekan sepertiku, aroma khas itu bukan masalah bagi mereka, untuk apalah aku pesimis dengan masa depan toh Tuhan sudah mewariskan negeri yang subur ini.
Mendapati kesimpulan ini tiba-tiba mulutku disumbat dengan selang karet dari sebuah pompa angin, tubuhku terpompa menggelembung ringan, kemudian melayang terantuk- antuk pada atap seng seadanya, aku ingin terbang lebih tinggi karena sekarang sudah menjadi balon gas terbang, beban sebagai pengangguran sejak wisuda 9 bulan lalu tiba- tiba keluar melalui lubang angin di tubuhku, tak ada lagi masalah rasanya, kawan. sekarang lihatlah aku sudah merasa gagah, wajah murungku mendadak berseri, bekas jerawat kerutan itu seperti sudah disetrika, aku tak kedi lagi seperti biji tanaman kisut, ahhh,,,,,tarik kembali talinya aku harus kembali ke bumi. Dasar penerbang kurang ajar,,,,aku tersedak,,,,pengangguran memang tidak harus menjadi masalah tetapi juga harus dicarikan solusinya. Dan belajar bersyukur adalah solusi paling mungkin bagi orang- orang yang mulai pesimis karena faktor umur dan persaingan ini dalam waktu dekat.
Tak dapat aku bandingkan bagaimana mereka menjalani hidup dengan orang- orang di luar sana, karena di sini aku menangkap makna bahwa orang-orang kecil memiliki cara mereka sendiri untuk bahagia, mereka menikmati kebahagiaan mereka sendiri yang tak dapat dibandingkan dengan orang lain. nasi tanpa sambal bermakna berhentinya tangis bagi si kecil yang lapar pagi ini sekaligus kebahagiaan bagi orang tuanya walaupun banyak di luar sana orang tak lagi bisa bahagia kalau tak meneguk kopi dengan harga selangit yang katanya dibuat dari kotoran itu. Kopi pahit sepertiga itu cukuplah menjadi bukti bahwa ketika itik sedang Pause membuat telur mereka tetap bersyukur dan tetap bermurah hati. Aku tak mengenal mereka sama sekali tapi tawaran kopi sepertiga itu membuatku merasakan bagaimana mereka membuat hati mereka bahagia.
Bahagia karena menjamu orang dengan baik, kopi ukuran sepertiga mungkin cukup untuk menggambarkan bagaimana kondisi mereka pada bulan ini atau ketika itik sedang parkir bertelur, tapi itu tak mengurangi niat mereka untuk berbagi. maka inilah potret bangsaku yang dikenal ramah itu. inilah potret orang-orang sederhana perwakilan Indonesia yang sebenarnya, Sheffield Inggrisnya Indonesia, mereka tak kalah dengan orang-orang Uzbek. Maka kopi pahit ukuran sepertiga bagiku hanya seperti nilai nominal pada mata uang, tak penting ukurannya tapi yang penting nilai instrinsik dan historisnya.
Di balik kopi sepertiga itu aku menemukan Indonesiaku yang hilang, di baliknya aku menemukan tulisan tersirat bermakna"tak usah menunggu memiliki banyak kalau hanya untuk sekedar berbagi". tak perlu mengenal orang kalau ingin memberi...tiba-tiba kopi pahit ini terasa manis kawan. kalau tak malu pada dua orang yang baru datang akan kuteguk sampai bubuk-bubuknya. Pada secangkir kopi aku melihat fungsi kebahagiaan dan syukur, tapi pada secangkir kopi juga terkadang orang menaruh prestise.
Ping Hp butut yang tadi aku hidupkan berbunyi, sebuah pesan masuk"kulup, pulang lai makan pical lai nak a"...pesan dari ibu angkatku di sini yang sudah kuanggap seperti ibu kandungku. Tapi aku masih ingin menjadi Human Observer pura-pura, terpaksa Hp kumatikan. Namun dalam hati aku sudah bertekad kelak akan kucoba menghidangkan kopi ukuran sepertiga atau seperenam pada kondisi yang sulit tapi memiliki makna instrinsik semulia hati mereka. Sehingga sampai pada tenggakan terakhir yang terasa bukan masalah kepuasan meminum kopi tapi tentang bagaimana kita menghargai hidup, tentang bagaimana agar kita berguna bagi orang lain, tentang bagaimana agar kita bisa berbagi, tentang bagaimana menciptakan kebahagiaan, tentang tantangan untuk terus berbuat bagi orang lain tanpa harus menunggu menjadi orang kaya. Semoga
Pelajaran penting minggu ini : Sikap Kurang Malu Akrab dengan Hal yang Gratis

0 komentar :