Jumat, 30 Desember 2011

Sabtu, 24 Desember 2011


Senin, 28 November 2011

Tanggal 10 November 2011 yang lalu, Pengajar Muda angkatan pertama (periode November 2010 - November 2011) kembali dari lokasi penempatan mereka setelah setahun bertugas. Tentunya, dalam kurun waktu tersebut, mereka mendapatkan pengalaman hidup yang luar biasa kaya.
Kini mereka akan kembali berkarier di bidangnya. Dalam acara orientasi paska penugasan, Anies Baswedan selaku penggagas dan ketua Indonesia Mengajar menyampaikan pesan bagi Pengajar Muda yang baru kembali dari desa-desa di pelosok itu.
Selamat membaca!
***
Assalamu’alaikum wr wb
Pengajar Muda yang tercinta dan terhormat,
Hari ini sebuah tugas telah purna. Perjalanan setahun yang penuh kenangan telah berakhir. Kalian akan memulai sebuah babak baru, mencari, dan menemui tantangan baru. Perjalanan kemarin menjadi bagian dari masa lalu kalian. Kebahagiaan, keharuan, kegetiran, problem, tetes air mata, dan keringatmu itu adalah bagian dari masa lalu.
Pengajar Muda, kalian telah memainkan peran bagi saudara sebangsa, sekecil apapun peran itu menurutmu. Kalian risih mendengarnya dan tak pernah mau disebut pahlawan, karena itu memang bukan urusanmu. Itu bukan urusan kita. Label-label itu adalah urusan para sejarawan nanti. Urusan kita adalah soal turun tangan atau lipat tangan. Kalian pilih turun tangan. Kalian pilih kemuliaan, kalian tak banyak cakap, kalian tinggalkan banyak urusan dan kalian terlibat langsung di berbagai penjuru tanah air.
Pengajar Muda yang tercinta, kalian sudah lewati sebuah fase luar biasa dalam hidupmu. Lihat masa depan dengan tegak dan penuh optimisme. Sesekali boleh kalian tengok ke belakang, sesekali kalian buka catatan harian semasa pengabdian di desa itu. Rasakan lagi denyut suasana batin hari-hari kemarin. Resapi desiran rasanya.  Sesekali buka foto-foto itu. Lihat lagi wajah murid-muridmu, lihat wajah adik kakakmu, wajah ayah ibu angkatmu. Permanenkan suasana desa tempat kalian mengabdi di kenanganmu.
Kalian hadir di sana selama satu tahun, jadi penyala harapan bagi mereka. Padamu harapan itu ditautkan. Lalu beberapa hari yang lalu kalian pulang, kalian tinggalkan mereka. Ada kekosongan hati yang luar biasa di sana. Anak-anak di sana masih saja menyebut namamu. Anak-anak di sana masih saja ingin bertemu kalian meski hanya dalam mimpinya. Tiap mereka lihat ruang kelasmu, lihat kamar tidurmu, lihat tempatmu berenang, lihat lapangan tempatmu bermain dan berlari-lari mereka seakan masih melihatmu, apapun yang mereka lihat seakan masih ada wajahmu.
Pengajar Muda, kalian bukan sekadar rekaman dalam memori. Kalian hidup dalam memori mereka selamanya. Mereka buat prasasti  dalam hatinya. Prasastinya permanen karena dibangun oleh ketulusan dan cinta saudara sebangsa. Lihatlah yang terjadi saat kalian kemarin meninggalkan desa itu: ada yang rakyat sedesanya turun gunung ke jalan raya untuk melepas kalian pulang, atau yang satu kampung berdiri di atas dermaga papan seadanya untuk melepas kalian pulang naik perahu kecil atau warga sekampung kumpulkan lembar seribuan rupiah lusuh kumal sambil bilang buat “ongkos Pak Guru pulang”, atau pidato perpisahan kepala sekolah yang suaranya tersedak tangis dan tak sanggup dia teruskan. Mereka lepaskan butir demi butir air matanya karena hatinya tak sanggup lepaskan kalian pulang. Butiran air di mata mereka adalah cermin kehadiran pengabdianmu di desa itu.
Pengajar Muda, camkan ini: bagi mereka, melepas kalian pulang terasa seperti melepas sebuah harapan.  Harapan itu serasa terbang dari genggaman mereka. Pasanglah foto desa dan foto murid-muridmu di dinding kamar tidurmu. Tatap foto itu dan tetapkan sebuah kalimat di hatimu: Saya akan terus hadir, saya tidak pernah pulang, saya akan selalu bersama saudara-saudara sebangsa.
Pengajar Muda, selama setahun kalian mewakili kita semua, mewakili seluruh bangsa ini, hadir di sana memberikan harapan buat saudara sebangsa. Kalian tak minta penghormatan karena kalian tahu penghormatan itu bisa semu dan dipanggungkan. Kalian terhormat bukan karena penghormatan tapi karena kalian pilih sebuah langkah yang penuh kehormatan. Kalian dapat kehormatan untuk hadir di desa itu, kalian masih muda tapi sudah ikut melunasi janji kemerdekaan kita: mencerdaskan saudara sebangsa. Sekecil apapun peran itu menurutmu, kalian telah pilih langkah terhormat.
Tiap kalian bangun pagi dan menyongsong tugas baru maka lihatlah foto itu dan ingatlah bahwa apapun yang kalian kerjakan nanti, yang serba sulit, yang serba berat adalah untuk meneruskan harapan mereka. Ingat lambaian tangan di tepi jalan raya, di tepi dermaga kayu, di depan sekolah-sekolah. Lambaian cinta tulus memancarkan harapan buatmu untuk tetap berjuang demi masa depan semua.
Bayangkan kesuksesan kalian itu dibayar dengan peluk kuat anak-anak yang mencintaimu. Bayangkan suatu saat nanti kalian pulang ke desa itu lagi, mendatangi tempat itu lagi dan dipeluk oleh anak-anak itu lagi. Suatu saat nanti, kalian jadi manusia dewasa yang berperan di republik ini, kalian jaga ikatan batin itu dengan mereka. Biarkan tali ikatan itu kuat agar mereka bisa selalu menarik manfaat ke desanya.
Kemarin kalian menyalakan harapan, kalian menyalakan pelita, supaya gelap itu berubah jadi terang. Kini kalian masuki babak baru, tetapkan hatimu untuk menyalakan pelita dan harapan di seantero Indonesia. Kalian bukan hanya akan menerangi sebuah desa. Kalian akan hadir untuk menyalakan Indonesia kita jadi terang benderang.
Pengajar Muda, di depan kalian kini ada peluang besar untuk meraih masa depan yang lebih baik buat semua. Pasang layar besar, cari angin yang kuat lalu arungi samudra dengan keyakinan dan keberanian. Di sana kalian akan temui gelombang besar, badai yang menggentarkan. Hadapi itu dengan keyakinan bahwa kalian akan besar, akan kuat, dan kelak setiap kehadiranmu akan punya efek yang dahsyat.
Jauhi sungai kecil walau indah dan tenang. Di sana mungkin dekat dengan pujian, banyak ketenangan. Jauhi itu. Pilihlah sungai besar, samudra luas yang arusnya kuat, yang penuh dengan tantangan. Arena yang bisa membuatmu dibentur-benturkan, dihantam tantangan. Arena yang bisa membuatmu makin kuat dan tangguh
Persiapkan diri dengan baik tapi jangan pernah kalian gentar dengan benturan. Jangan pernah takut salah. Jangan takut dunia korporasi, jangan takut dunia pemerintahan, jangan takut dunia global. Kalian masuki semua itu. Di semua sektor, republik ini perlu lebih banyak orang yang bisa menjaga kehormatan. Republik ini perlu lebih banyak orang yang pegang hati nurani secara radikal. Kalian jadi harapan kita semua. Kalian sudah rasakan bagaimana dicintai itu, kalian sudah rasakan bagaimana ketulusan itu. Bawa itu semua di gelanggang barumu.
Raihlah puncak-puncak tinggi itu, puncak-puncak yang jangkauannya sulit, yang tetes keringatnya banyak, yang kadang terasa pedih, yang bebannya berat. Tapi ingatlah wajah anak-anak itu, ingat lambaian tangan saudara sekampungmu itu selama kalian meniti perjalanan kerja dan hidup kalian nanti. Dan sesungguhnya, seberat-beratnya tantanganmu, tantangan yang mereka hadapi di kampung sana sering lebih terjal, jalannya sering tanpa penunjuk arah.
Di tempat-tempat barumu nanti, yang mungkin senyap, mungkin jauh dari hiruk pikuk “perjuangan” tapi yakinlah bahwa kerja itu adalah bagian penting dari ikhtiar kolektif generasi baru anak bangsa ini. Kerjakan hal-hal yang mungkin nampak tak penting dan tak heroik, tapi jalani itu dengan kesungguhan untuk menuju keberhasilan baru.
Ingat wajah saudara barumu di desa itu dan tetapkan dengan penuh percaya diri: akan kucapai puncak-puncak baru. Lalu kerja keraslah dan capailah puncak-puncak tinggi itu. Di sana kalian kumandangkan suara hati nurani. Jangan kalian pilih puncak-puncak rendah yang mudah dijangkau.
Kalian sudah rasakan bagaimana sebuah karya betapapun kecilnya bisa menggulirkan perubahan.  Songsong dan rasakan perubahan itu di arena-arena besar. Jelajahi jalan baru yang mendaki, jangan pilih jalan yang datar atau jalan turun. Jalan datar itu nyaman menjalaninya, jalan menurun itu ringan melewatinya. Sesungguhnya melalui jalan mendaki itulah kalian bisa mencapai puncak baru untuk mengumandangkan hati nurani, mengumandangkan pesan anak-anak desa pelosok itu.
Jalan mendaki itu bisa sempit dan bisa membuat kalian tak leluasa bergerak tapi jalani itu dengan kesungguhan dan totalitas: mendakilah terus. Begitu sampai di puncak kalian akan leluasa bergerak. Seruan kalian akan terdengar dan berdampak bukan saat masih di jalan sempit yang membuatmu tak leluasa bergerak. Seruan kalian akan bisa menggetarkan dan berdampak justru saat kalian sudah sampai di puncak-puncak baru. Di puncak itulah seruan kalian akan terdengar ke seluruh  penjuru.
Buatlah kita semua bangga karena punya saudara seperti kalian, punya saudara anak-anak muda tangguh yang bisa membawa kantung berisi hati nurani sampai ke puncak.  Buat kita bangga karena menyaksikan kantung hati nurani kalian tidak bocor di perjalanan walau terjal dan mendaki.
Pengajar Muda, terbanglah tinggi, jelajahi dunia. Di tiap penerbangan tinggi yang melampaui benua, kalian ingat desa itu. Di tiap pintu gerbang negara yang kalian kunjungi, tuliskan sebuah pesan untuk kampungmu di pelosok itu agar adik-adikmu di sana bisa pancangkan mimpi yang tak kalah tinggi.
Buat saudara-saudaraku yang mengelola program di Jakarta, teman-teman tidak berada di pelosok Indonesia, tapi ruang-ruang kontor itu jadi saksi bisu atas ketulusan yang tak kalah dahsyat. Teman-teman jauh dari perhatian, jauh dari lampu terang benderang tapi hatimu terangnya luar biasa.
Ketulusan teman-teman memancar dan menyilaukan. Teman-teman yang senyatanya menggelindingkan bola salju kecil itu jadi bola salju besar dan menggulir cepat. Pada teman-teman pahala besar dan kuat itu menempel. Teman-teman bekerja siang-malam untuk membesarkan, merawat, dan menggelorakan semangat pengabdian itu jadi seperti sekarang.  Juga untuk keluarga-keluarga di rumah, apresiasi kita yang luar biasa untuk mereka di rumah yang merelakan sebagian waktunya diambil untuk mengelola bola salju ini. Juga terima kasih dan apresiasi untuk Indika Energy yang sedari awal sekali sudah memberikan dukungan pada ikhtiar ini. Dukungan dari Indika Energy inilah yang telah memungkinkan sebuah ide menjadi realita. Dan, apresiasi untuk semua pihak yang mendukung sejak mulai gagasan hingga selesainya siklus pertama program ini. Mari bersama-sama kita jaga bola salju ini tetap putih, tetap bergulir, dan tetap membesar.
Saudara-saudaraku Pengajar Muda, selamat menjalani fase baru hidup. Kalian anak-anak muda terpilih, kalian telah membuktikan bahwa kita masih punya cukup stok anak muda pejuang. Kalian membuktikan bahwa keluarga-keluarga Indonesia tetap keluarga pejuang dan kalian telah tanamkan bibit optimisme yang dahsyat. Jaga ikatan persaudaraan ini, jaga tali nurani ini, jaga ketulusan ini, jadikan persaudaraan kita menjadi hub of trust yang bisa mendorong kemajuan di republik tercinta ini. Jadikan persaudaraan ini sebagai fountain of hope yang memancarkan harapan buat kita semua.
Selamat Pengajar Muda, selamat saudaraku, selamat melanjutkan perjalanan....
Salam,
Anies Baswedan


dikutip dari
http://indonesiamengajar.org/kabar-terbaru/pesan-anies-baswedan-kepada-pengajar-muda-pasca-pe

Sabtu, 15 Oktober 2011

Kelas Unggul MAN Muarabungo Gelar Out Bond

MUARA BUNGO – Kelas unggul Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Muarabungo kemarin (30/09) melaksanakan kegiatan out bond, kegiatam out bond yang baru pertama kali dilaksanakan oleh MAN Muarabungo ini dilaksanakan di bumi perkemahan cadika Muarabungo.
Koordinator Kelas Unggul MAN Muarabungo yang juga ketua panitia out bond, Ferli Montana menuturkan, kegiatan out bond kelas unggul ini yang pertama kalinya dilaksanakan oleh MAN Muarabungo dan bahkan mungkin baru pertama kali dilaksanakan oleh Madrasah dan Sekolah yang ada kelas unggul di Bungo.
Dalam kegiatan ini dipadukan tiga aspek, kognitif, afektif dan psikomotorik, jadi harapan kami selain dapat menyehatkan jiwa, pikiran dan badan atau jasmani, kegiatan ini dihahapkan dapat menghindarkan siswa terhadap hal-hal yang negatif. Tidak hanya itu, kita juga memadukan pengatahuan, keterampilan dan keahlian dalam kegiatan out bond ini. 
“Out bond ini baru pertama kali kita laksanakan, dan tujuan dari kegiatan ini adalah menyehatkan jiwa, pikiran dan jasmani, serta menghindarkan siswa terhadap hal-hal yang negatif,” tukas Ketua Panitia Out Bond itu.
Kemudian ia menambahkan, dalam kegiatan out bond ini, ada beberapa rintangan yang dilalui oleh peserta yang berjumlah 30 orang tersebut. Diantaranya merayap, panjat pohon, merangka, terjun menggunakan tali, meluncur, berjalan di air, melompat tanggul, dan juga ada permainan yang bersifat mendidik.
“Ada beberapa rintangan yang dilewati oleh peserta out bond, selain rintangan kami juga melaksanakan permainan yang bersifat mendidik dalam out bond ini,” tambah Ferli Montana.
Dengan adanya out bond kelas unggul MAN Muarabungo ini, diharapkan kedepannya kegiatan out bond ini dapat dilaksanakan oleh sekolah lain yang memiliki kelas unggul. Jadi siswa yang berada di kelas unggul tidak harus melulu belajar dari pagi hingga sore, sesekali dilaksanakan kegiatan out bond.
“Mudah-mudahan sekolah yang memiliki kelas unggul lainnya dapat melaksanakan hal serupa, sehingga siswa bisa berada diluar kelas (out bond-red) dan melaksanakan kegiatan yang dapat menyehatkan jiwa, pikiran dan jasmani,” harapnya. (ben)    

Dari : http://bungopos.com.42427.masterweb.net/user/register?q=/node/344

Selasa, 28 Juni 2011



Rabu, 11 Mei 2011

Ini samsul......Pria hitam ini dikenal sebagai sosok inspiratif


Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.
Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai Pustaka
Merari Siregar
Azab dan Sengsara: kissah kehidoepan seorang gadis (1921)
Binasa kerna gadis Priangan! (1931)
Tjinta dan Hawa Nafsu
Marah Roesli
Siti Nurbaya
La Hami
Anak dan Kemenakan
Nur Sutan Iskandar
Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan
Hulubalang Raja (1961)
Karena Mentua (1978)
Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
Abdul Muis
Pertemuan Djodoh (1964)
Salah Asuhan
Surapati (1950)
Tulis Sutan Sati
Sengsara Membawa Nikmat (1928)
Tak Disangka
Tak Membalas Guna
Memutuskan Pertalian (1978)
Aman Datuk Madjoindo
Menebus Dosa (1964)
Si Tjebol Rindoekan Boelan (1934)
Sampaikan Salamku Kepadanya
Suman Hs.
Kasih Ta’ Terlarai (1961)
Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
Pertjobaan Setia (1940)
Adinegoro
Darah Muda
Asmara Jaya
Sutan Takdir Alisjahbana
Tak Putus Dirundung Malang
Dian jang Tak Kundjung Padam (1948)
Anak Perawan Di Sarang Penjamun (1963)
Hamka
Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1957)
Tuan Direktur (1950)
Didalam Lembah Kehidoepan (1940)
Anak Agung Pandji Tisna
Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1975)
Sukreni Gadis Bali (1965)
I Swasta Setahun di Bedahulu (1966)
Said Daeng Muntu
Pembalasan
Karena Kerendahan Boedi (1941)
Marius Ramis Dayoh
Pahlawan Minahasa (1957)
Putra Budiman: Tjeritera Minahasa (1951)
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai Raja Pengarang Balai Pustaka oleh sebab banyaknya karya tulisnya pada masa tersebut.


disadur dari :

http://sastralife.wordpress.com/sastra-indonesia/angkatan-balai-pustaka/

Jumat, 08 April 2011

Al kisah, maka adalah suatu cerita, kononnya sebuah negeri nama Halban Cundung. Nama rajanya Indera Maya, cukup dengan hulubalang menterinya. Maka adalah dipeminggiran negeri raja itu seorang peladang tiga beranak, anaknya laki-laki dinamakannya Belalang, menjadi orang-orang semuanya memanggil orang tua peladang itu Pak Belalang. Maka pada suatu tahun semua orang tiada dapat padi berladang, oleh sangat kemarau. Maka yang hal sepeladang tiga beranak itu sangatlah kesusahan hendak mencari makanan, tiadalah dapat daya dan upaya lagi, melainkan dengan makanan kutip katap sahaja, ya ni terkadang makan ubi, tebu, pisang, keladi dan sebagainya.
Hatta, antara beberapa lamanya didalam hal yang demikian itu, sampailah pula musim piama. Maka orang bekerja bendang pun masing-masing turun kebendangnya membuat pekerjaan, ada yang mencuci parit, membaiki batas-batas mana-mana yang patut dan rusuk, dan ada yang menengala dengan kerbau, ya ni tanah didalam petak bendang itu supaya menjadi lembut semuanya, boleh senang menanam padi, lagi pula menyuburkan pokok padi sampai kepada buahnya. Maka ada pula yang memagar dan berbuat berbagai-bagai ikhtiar supaya terpelihara daripada mara bahaya musuhnya seperti tikus, ulat dan babi. Maka didalam hal yang demikian itu semua orang membuat pekerjaan, melainkan Pak Belalang tiga beranak asyik dengan tidur siang malam dirumahnya dengan berdukacita yang teramat sangat akan kehidupannya yang akan boleh makan.
Maka pada suatu hari Pak Belalang berkata kepada anaknya nama Si Belalang itu, wahai anakku, apalah sudah untung kita demikian ini. Tiadalah dapat apa-apa yang dijadikan makanan kita anak beranak. Maka jawab anaknya, apakah fikiran aki? Maka kata Pak Belalang, pada fikiranku pergilah anakku sembunyikan kerbau orang yang menenggala dibendang itu barang dua ekor, taruh didalam semak-semak itu. Jikalau orang itu gempar kehilangan kerbaunya, katakana aku tahu bertenung menentukan dimana-mana tempat kerbau itu.
Sebermula, telah sudah bermesyuarat kedua beranaknya, pada waktu matahari rembang orang-orang bendang itu kelelahanlah penat. Masing-masing pun berhentilah naik kedangaunya makan minum dan setengah tidur. Maka kerbau-kerbau mereka itu ditambatkan ditepi batas yang disebelah naung, makan rumput dan setengah dilepaskan dengan tali-talinya berkubang.
Arakian, Si Belalang pun, lepas bermesyuarat dengan bapanya itu, lalulah ketempat kerbau yang teramat itu dengan seorang dirinya terhendap-hendap mengintau tuan kerbau itu. Telah sampai lalu dipegangnya tali kerbau, diambilnya dua ekor, ditambatkannya kepada pohon kayu besar kira-kira sebatu jauhnya daripada tempat itu. Maka ia pun pulang kepada bapanya, habis dikabarkannya hal ehwalnya. Maka sangatlah sukacita bapanya mendengarkan perkataan anaknya oleh mengikut seperti pengajarannya.
Hatta, tersebut perkataan orang-orang bendang itu. Apabila telah beralih hari, masing-masing pun turunlah kebendangnya sambil hendak mengambil kerbau. Maka dilihat dua ekor kerbaunya sudah hilang. Jenuh mencari tiada jump, sambil berkata, siapakah gerangan agaknya tahu bertenung ini? Kita hendak tenungkan kerbau yang hilang ini. Maka pada ketika itu Si Belalang sedang bermain dekat-dekat meraka itu. Maka katanya, bapaku tahu juga sedikit-sedikit bertenung.
Jawabnya tahu juga. Maka kata orang bendang itu, marilah kita sekalian pergi kepada Pak Belalang minta ditenungkan. Jawab kawannya, moh la. Lalu pergilah orang-orang bendang itu kepada Pak Belalang. Maka pada ketika itu Pak Belalang pun ada dirumah sedang memegang gobek. Lalu ditegurnya akan mereka itu seraya katanya, apakah hajat anakku sekalian ini? Jawab orang-orang itu, kita ini mendapatkan Pak Belalang minta tenungkan kerbau kita hilang, jenuh mencarinya.
Maka kata Pak Belalang pun mengambil kertas yang buruk, ditulisnya bagai bekas cakar ayam sahaja, dengan tawakal diperbuatnya serta membilang-bilang jarinya dan memejam-mejamkan matanya. Katanya, ayuhi anakku, kerbau itu dua yang hilang ada disebelah matahari mati, ditambatkan orang dipohon kayu besar. Pada petuanya jikalau lambat dituruti nescayalah ia mati.
Demi orang-orang itu mendengarkan perkataan Pak Belalang, sangatlah sukacita hatinya. Lalulah pergi setenganya mencari dan yang setengah balik pulang. Kemudian antara beberapa lamanya mereka itu pun sampailah ketempat yang ditambatkan oleh Si Belalang itu. Maka kerbau dua ekor itu hampir akan mati kerana tersangat dahaga, lalu diambilnya, dibawa pulang kerumahnya akan Pak Belalang tahu tenung. Maka singgahlah mereka itu dirumah Pak Belalang, serta membawa beberapa banyak hadiah daripada beras, padi, tembakau, gambir, ikan dan lain-lainnya adalah berharga kadar lima puluh derham. Maka sangatlah kesukaan hati Pak Belalang menerima hadiah mereka itu, dengan beberapa kesenangan ia makan anak-beranak.
Kelakian, tersebutlah Raja Indera Maya didalam negeri itu. Pada suatu malam kecurianlah baginda tujuh biji peti yang berisi emas, intan, derham dan lain-lain mata benda yang mahal-mahal harganya. Maka dititahkan oleh baginda memukul canang segenap pekan didalam negeri itu, titahnya, siapa-siapa tahu bertenung raja memanggil kedalam, hendak minta tenungkan harta yang hilang kecurian tujuh buji peti semalam. Maka didengar oleh bendang yang hilang kerbau itu. Katanya, yang kita tahu, orang yang pandai bertenung, boleh dapat dengan segeranya.
Maka kata tukang canang itu, dimanakah rumahnya? Jawab orang bendang itu, itulah rumahnya. Maka pergilah tukang canang itu. Didapati Pak Belalang ada hadir dirumahnya. Lalu mereka bertanya, ayuhai Pak Belalang, iakah sungguhh tahu bertenung? Maka jawabnya, tahu juga sedikit. Maka kata tukang canang, marilah mengadap baginda, kerana baginda kecurian tujuh biji peti semalam.
Maka jawab Pak Belalang, baiklah. Maka ia pun pergilah mengadap baginda bersama-sama dengan tukang canang. Apabila sampai kedalam lalu ditegur oleh baginda seraya bertitah, hai Pak Belalang, tahukah engkau bertenung? Maka sembah Pak Belalang, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, tahu juga sedikit kerana patik ditinggalkan hamba tua dahulu empat peti kitab tiba dirumah patik dari hal kisah pencuri barang-barang yang hilang.
Maka titah baginda, jikalau baginda beta beri tempoh didalam tujuh hari ini, beta minta tenungkan harta beta yang hilang itu. Jika tiada dapat engkau tenungkan harta itu, nescaya beta bunuh kerana membuat bohong mengatakan ada empat biji peti tib ilmu nujum. Maka sembah Pak Belalang, Daulat Tuanku titah patik junjung. Insyaallah ta`ala, berkat dengan tinggi daulat, bolehlah patik tenungkan, Tuanku.
Maka Pak Belalang pun bermohon balik, dikurniakan oleh baginda seratus derham akan belanjanya. Hatta, apabila sampai kepekan, maka dibelinya beras, ikan, minyak dan tepung, dibawa balik kerumahnya, diberikan kepada isterinya. Maka tanya isterinya, dimana Pak Belalang dapat barang banyak-banyak ini? Curikah? Jawabnya, tiada aku curi, raja memberi kepada aku, disuruhnya bertenung hartanya hilanh tujuh biji peti semalam konon. Maka tepung ini perbuatlah roti. Aku teragak hendak makan roti rasanya.
Maka diambil oleh perempuannya barang-barang itu diperbuat roti. Seketika nanti hari pun malam. Lepas makan nasi tiga beranak itu, Pak Belalang pun berbaring ditengah rumahnya oleh sebab letih berjalan tadi. Maka isterinya pun masaklah roti itu didapurnya, direndangnya sebiji-biji, maka berbunyilah roti itu kena minyak didalam kuali, chur bunyinya. Maka oleh Pak Belalang dibilangnya dari tengah rumah itu, katanya, satu membilang roti itu.
Maka dengan takdir Allah, berkat ia bertawakal membuat pembohong itu, tatkala ia membilang roti itu maka kepala pencuri yang mengambil harta baginda itu ada orang terdiri dihalam Pak Belalang, barulah ia keluar dari hutan, kerana jalannya pergi datang itu dekat dengan rumah Pak Belalang. Kemudian chur bunyinya sekeping roti lagi, dibilangnya, dua. Maka pencuri itu pun sudah dua berdiri dihalamannya. Kemudian tiga, maka pencuri itu pun sudah tiga orang disitu. Kemudian tujuh keping roti dibilang oleh Pak Belalang, bersetuju dengan pencuri itu telah ada disitu ketujuh-tujuhnya.
Maka kata kepala pencuri itu, Hai kawan-kawan sekalian, ada pun kita ni sudah diketahui oleh orang tua Pak Belalang akan kita ada disini. Pada fikiranku, tentulah ia tahu kita tujuh orang ini yang mengambil harta raja itu dan sekarang baiklah kita pergi berjumpa dengan dia berkabarkan kesalahan kita yang mengambil harta raja itu. Jawab yang berenam itu lagi, baiklah mari kita pergi kabarkan supaya lepas nyawa kita mati dibunuh raja itu. Maka pencuri ketujuh itu pun pergilah mengetuk pintu Pak Belalang. Maka kata Pak Belalang siapa itu?
Jawabnya, kita hendak berjumpa dengan Pak Belalang. Maka dibuka oleh Pak Belalang pintunya lalu naiklah pencuri ketujuh-tujuh orang itu seraya duduk berjabat tangan dengan Pak Belalang. Maka kata Pak Belalang, dari mana datang dan apakah hajat? Maka jawab pencuri, kami datang ini minta nyawa kepada Pak Belalang. Jangan kamu sekalian dibunuh, kerana kamilah semua yang mengambil peti raja negeri ini, yang hilang tujuh biji itu. Oleh sebab jikalau tiada kita berkabarkan benar pun, Pak Belalang sudah tahu, kerana Pak Belalang di rumah, kami di tanah lagi belum nampak sudah Pak Belalang bilang.
Sebermula telah didengar oleh Pak Belalang akan perkataan pencuri ketujuh itu sangatlah sukacitanya sambil berdaham. Katanya, dengan sesungguhnya aku tahu. Masa anakku di tanah tadi aku bilang di rumah ini satu hingga ketujuh. Benar atau tidak bilangan aku itu? Maka jawab pencuri itu dengan ketakutan, benar. Itulah sebabnya kami sekalian takut akan Pak Belalang berkabar kepada raja, matilah kami sekalian di bunuh oleh raja itu.
Maka kata Pak Belalang, jikalau sungguh anakku sekalian berkata benar, tidaklah dibunuh oleh raja. Dimanakah harta raja itu sekarang? Jawab pencuri itu, adalah kami sekalian tanamkan disebelah selatan didalam hutan, lebih kurang ada sebatu dari sini. Kami sekalian tanamkan didalam tanah tiada apa-apa rusak, bolehlah Pak Belalang ambil harta raja itu balik. Maka kata Pak Belalang, baiklah, tetapi jangan membuat bohong. Tentu aku suruh bunuh kepada raja.
Maka bersumpahlah pencuri itu mengatakan tidak bohong sekali-kali. Kemudian roti yang dimasak oleh isteri Pak Belalang itu pun dijamukannyalah kepada pencuri-pencuri itu. Lepas makan mereka itu pun turunlah berjalan. Hatta, telah siang hari, Pak Belalang pun pergilah mengadap Raja Indera Maya seraya baginda bertitah, apa kabar, Pak belalang? Adakah dapat ditenungkan di dalam tib darihal itu?
Maka sembah Pak Belalang, insyaallah ta`ala, dengan berkat tinggi daulat dapatlah dalam tib-tib patik itu, Tuanku. Patik peroleh satu buku, didalamnya ada tersebut bahawasanya ada pun hartanya yang hilang tujuh orang, dibawahnya kesebelah selatan, sudah ditanamkannya didalam tanah, tetapi tiada rosak barang-barang itu lagi.
Setelah menitahkan dua orang menteri dengan seratus hulubalang dan lima ratus rakyat mencari peti baginda itu dengan segeranya, maka masing-masing menyembah lalu berjala. Maka baginda pun tinggallah dengan Pak Belalang di balairong seri dihadapi oleh bentara biduanda sida-sida sekalian.
Maka tersebutlah kisah menteri dengan hulubalang, rakyat pergi mencari harta itu. Selang beberapa lamanya sampailah kedalam hutan besar, ditujunya kesebelah selatan. Dengan takdir Allah subhanahu wata`ala betullah sampai mereka kepada tempat peti yang ditanamkan oleh pencuri itu, berjumpa dengan suatu lubang bekas ditimbus orang. Maka diambil oleh menteri anak-anak kayu suruh tikam kedalam tanah, lalu kenalah kepada peti itu, serta diangkat naik, dipikul oleh rakyat sekalian, dibawa balik mengadap baginda.
Maka baginda pun turunlah dari atas singgahsana sambil berkata, betullah sungguh Pak Belalang ini, besar untungnya dan kebaktiannya kepada aku. Baginda bertitah itu dengan teramat sukacitanya, seraya memandang kepada muka Pak Belalang. Titahnya pula, ada pun Pak Belalang ini telah beta gelar Ahlunnujum pada hari ini, dan barangsiapa memanggil Pak Belalang, beta guntingkan lidahnya.
Maka sekalian rakyat, menteri hulubalang pun mengatakan Ahlunnujum sekaliannya. Maka titah baginda, Hai ahlunnujum, beta anugerahi sebiji peti ini akan dikau, bawalah pulang kerumah, berikan kepada anak isteri engkau. Maka sembah Ahlunnujum Belalang, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, patik mohonkan ampunlah dikurniakan harta itu, kerana ayapan yang kurniai oleh dulu Tuanku dahulu itu pun cukup patik ayapi anak beranak.
Maka titah baginda menyuruh juga hantarkan sebiji peti yang berisi emas, intan, ratna mutu manikam, kerumah ahlunnujum Belalang itu. Maka ahlunnujum pun bermohon kembali pulang kerumahnya dengan sukacita sekalian anak isterinya. Hatta, antara selang tiga bulan, masuklah pula tiga buah kapal membawa anak itik baru jadi, meminta kenalkan jantan betinanya. Maka kapal itu pun sampailah kepelabuhan. Juragannya naik kedarat mengadap Raja Indera Maya. Maka ada pun tatkala itu baginda sedang dihadapi oleh menteri, hulubalang, sida-sida, biduanda sekaliannya.
Maka juragan itu pun naiklah kebalai pengahadapan masuk mengadap dibawa oleh bahtera baginda. Serta baginda memandang, juragan pun bertelut kepada baginda. Sembahnya, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, patik ini datang dari sebuah negeri kesebuah negeri membawa anak itik baru menetas, meminta kenalkan jantan dan betinanya patik persembahkan kebawah duli Tuanku kapal patik tiga buah itu dengan isinya, patik turun kain sehelai sepinggang sahaja. Tetapi jika Tuanku terkenal anak itik itu jantan betinanya, harapkan diampun beribu-ribu ampun, negeri Tuanku ini patik pohonkan supaya menjadi milik patik.
Maka sahut baginda, baiklah encik Juragan, beta minta tempoh tiga hari dahulu. Kepada hari yang ketiga itu pagi-pagi bolehlah datang bawakan anak-anak itik itu, boleh beta kenalkan jantan betinanya. Maka juragan itu pun bermohon balik kekapalnya. Maka baginda pun menitaahkan seorang biduanda panggil ahlunnujum belalang. Maka biduanda pergi kepada Ahlun nujum Belalang. Tatkala itu Ahlun nujum Belalang ada dirumahnya sedang merojak sireh hendak dimakannya. Maka biduanda pun naik. Katanya, Hai Ahlun nujum , titah memanggil bersama-sama sahaya mengadap dengan segeranya.
Jawab biduanda ada kapal masuk membawa anak itik baru menetas, minta kenalkan jantan betinanya. Itulah sebab Tuanku memanggil. Maka sahut Ahlun nujum Belalang, Baiklah, lalu ia mengambil tongkat berjalan bersama-sama dengan biduanda mengadap baginda kebalairong seri. Demi terpandang kepada Ahlun nujum, maka baginda pun bertitah, marilah kesini dekat dengan beta ini, hendak bermesyuarat.
Maka Pak Belalang pun datanglah hampir dengan baginda seraya meyembah. Maka titah baginda, apalah hal beta ini ahlun nujum? Ada pula masuk tiga buah kapal membawa anak itik baru menetas dari telur. Juragannya meminta kenalkan jantan betinanya, kepada beta. Jika tidak kenal, negeri ini pulanglah kepadanya. Maka sekarang apakah halnya beta hendak mengenalnya itu?
Setelah Ahlun nujum Belalang mendengarkan titah baginda, ia pun termenung seketika serta menyerahkan dirinya kepada Tuhan sarwa sekalian alam harapkan makbul sebarang maksudnya membuat perkataannya yang pembohong itu semuanya, Ampun Tuanku beribu-ribu ampun, titah Tuanku terjunjunglah diatas otak batu kepala patik. Maka dengan berkat tinggi daulat Tuanku adalah pula buku tib itu tinggal di rumah patik, dua tiga empat peti penuh berisi dengan pasal anak itik itu sahaja. Dan harapkan ampun patik bertempuh tiga hari mencari dalam tib itu. Maka titah baginda, baiklah.
Maka Pak Belalang pun bermohon balik pulang kerumahnya dengan dukacita yang teramat sangat kerana takut kalau kedapatan budi pembohongnya itu. Maka keluh kesahlah ia tiada lalu makan dan minum dan tidur, melainkan di dalam hatinya berkata, ya Allah, ya Rabbi, ya Saidi, ya Maulai. Kepada Tuhanku juga hamba menyerahkan diri, barang dimakbulkan kiranya seperti maksud dan hajat hamba ini akan mengetahui jantan betina anak itik itu dengan mudahnya.
Hatta, perjanjian dengan baginda itu pun sampailah dua hari sudah. Maka sangatlah dukacita Pak Belalang akan perkara yang disanggupinya itu. Setelah sampai kepada malam ketiganya, maka dengan takdir Allah subhanahuwata`ala dibukakan hatinya fikiran yang baik. Baiklah aku pergi bersampan berkayuh dekat-dekat kapal mendengar perkabaran itik itu.
Maka ia pun berkayuhlah dengan perahunya yang pipih supaya tidak kedengaran bunyi air. Setelah Pak Belalang sampai kepada kapal yang tiga buah berlabuh itu seraya perlahan-lahan mendengarkan apa-apa percakapan orang dikapal itu. Maka dengan takdir Allah subhanahu wata`ala melakukan kudrat diatas hambanya, pada ketika itu bercakaplah isteri juragan kapal itu dengan suaminya. Katanya ayuhi Encik Juragan, berapa lama sudah saya bersama-sama belayar menjajakan anak itik ini minta kenalkan jantan betinanya belum juga saya tahu bagaimana hendak mengenalnya itu. Jikalau sungguh kasih kepada saya tolonglah kabarkan supaya saya tahu.
Maka jawab juragan itu, ayuhai adinda, buah hati kekanda, tiadalah dapat kekanda hendak mengabarkan hal itu, takut didengar oleh orang, kerana esok hari hendak kekanda bawa mengadap raja negeri ini minta kenalkan jantan betinanya. Jikalau tiada lalu raja itu mengenalnya negeri ini kita miliki, dan jikalau lalu pula raja itu mengenalnya, kapal yang tiga buah ini pulang kepadanya. Kita sekalian turun kain sehelai sepinggang sahaja. Tetapi oleh kasih kekanda, kabarkan. Janganlah dicakapkan kepada orang.
Maka jawab isterinya, katakanlah supaya adinda dengar. Di mana pula ada orang tengah malam datang hampir kemari? Lalu dikabarkan oleh juragan kepada isterinya, katanya, jikalau hendak mengenal jantan betina anak itik itu, hendaklah dibubuh air didalam terenang. Mana-mana yang dahulu menyelam itulah betina dan yang kemudiannya jantan.
Setelah didengar oleh isterinya, ia pun diam. Lalu tidur kedua laki isteri menantikan siang. Shahadan maka Pak Belalang pun sekalian hal ehwal itu semuanya didengar. Sangatlah suka hatinya serasa mati hidup kembali, sambil berkayuh perlahan-lahan balik pulang kerumahnya. Setelah sampai lalu memanggil perempuannya emak Belalang. Maka emak Belalang pun bangun memebuka pintu. Maka kata Pak Belalang, ada \kah nasi emak Belalang? Aku lapar ini. Pergilah masak segera, apa digaduhkan masak nasi ransom? Belanja kita raja memberi.
Maka jawab isterinya, sudah ada nasi. Makanlah. Maka Pak Belalang pun bersalin kainnya lalu duduk serta memakan nasi. Setelah itu, ia pun tidur dengan kesukaannya. Seketika lagi hari pun sianglah lalu ia bangun duduk sambil merojak sirehnya. Sebermula, maka tersebutlah perkataan juragan kapal. Telah hari siang pagi-pagi hari, maka juragan pun bersiaplah lalu naik kedarat diiringkan oleh anak-anak perahunya membawa anak itik itu. Maka baginda pun hadir diatas singgasana tahta kerajaan dihadapi oleh sekalian menteri, hulubalang, sida-sida bentara, rakyat bala, hina dina hendak melihat temasya itu.
Hatta, baginda pun menitahkan seorang biduanda memanggil ahlun nujum Belalang dengan segeranya. Maka biduanda pun menyembah lalu turun berjalan kerumah Ahlun nujum Belalang. Maka katanya titah Tuanku memanggil Ahlun nujum. Juragan dan sekalian orang telah berhimpun dibalai semuanya. Maka Ahlun nujum pun bersiap-siapkan sirehnya lalu mengadap baginda. Maka sampailah kebalairung seri. Maka titah baginda, marilah kemari.
Maka Ahlun nujum Belalang pun dekatlah dengan baginda. Maka titah baginda, Apakah hal ahlun nujum hendak mengenal anak itik itu jantan betinanya? Maka sembah Pak Belalang. Ampun Tuanku beribu-ribu ampun, jenuh patikmencari di dalam tin patik. Maka dapatlah patik di dalam buku kecil sahaja, ada di dalam dua baris tertulis di tulis disitu mengatakan demikian, bahawasanya ada pun hendak mengenal anak itik itu jantan betinanya, hendaklah dengan air.
Maka titah baginda menyuruh ambilkan suatu terenang emas. Maka di bawa oleh dayang-dayang di persembahkan kepada baginda. Maka titahnya, inilah air, ahlun nujum. Maka sembah Pak Belalang, kemudian lepaskan seekor. Mana-mana yang dahulu menyelam, itulah yang betina dan yang kemudian menyelam itulah jantannya. Maka titah baginda, lepaskanlah. Sembah Pak Belalang, silakanlah Tuanku melepaskannya. Titah baginda, beta tiada tahu.
Maka Pak Belalang pun bangun seraya menyembah melepaskan itik itu. Maka apabila dilepaskannya seekor dalam terenan, maka anak itik pun menyelam. Maka sembah Pak Belalang, itulah betina, tuanku. Kemudian dilepaskan pula seekor lagi, lambat menyelam. Titah baginda, lambat pula menyelan itu. Sembah Pak Belalang, yang lambat menyelam itu jantan, Tuanku.
Maka baginda pun memandang kepada juragan kapal itu. Titahnya, apakah kabar Juragan? Betulkah seperti kata ahlun nujum ini, dimana hendak patik simpangkan perkataan yang sebenar itu? Maka titah baginda, jikalau begitu, baiklah perdana menteri beri juragan ini tiga buah perahu dan bekalnya sampai ia balik kenegerinya. Maka perdana menteri pun menyembah dan juragan kapal pun turun bersama-sama dengan menterinya seraya menyembah baginda. Kapal itu pun diserahkan kepada bendahara dengan isi-isinya.
Sebermula, tersebutlah kisah baginda itu pula memberi titah kepada Pak Belalang. Titahnya ayuhai saudara beta, ahlun nujum yang bijaksana, dengan kerelaan hati beta memberi sebuah kapal itu kepada saudara dengan isi-isinya. Maka sembah Pak Belalang, ampun tuanku beribu-ribu ampun, sembah patik harapkan diampun, sebenar sangat seperti titah itu, dengan sebolah-bolehnya patik mohon ampunlah dikurniai itu, kerana mana-mana harta yang duli Tuanku kurniakan dahulu sekarang telah sudah dihabiskan oleh didik itu bersuka ria, ampun tuanku bermain muda sahaja kerjanya.
Baginda pun tertawa gelak-gelak, titahnya, tiada mengapa, budak-budak sahajanya gemar main muda itu, tiada pula menjadi kesalahan. Tetapi kawinkan dia mana-mana yang diperkenankan dan kapal ini pemberian betalah kepadanya Si Belalang itu. Maka sembah Pak Belalang, daulat Tuanku. Maka kapal itu pun disuruh hantarkan kepelabuhan Pak Belalang, adanya.
Sebermula, telah selesai kisah anak itik itu, dengan takdir Allah subhanahu wa`tala, masuklah pula tujuh buah kapal membawa kayu yang teramat licin dan bulat, panjangnya kira-kira sehasta, nakhodanya itu pun naiklah mengadap baginda bermaklumkan halnya serta membawa kayu itu, dipersembahkan kepada baginda. Katanya, ampun tuanku beribu-ribu ampun, sembah patik harap diampun jua kiranya. Adalah patik datang ini mengadap tuanku membawa suatu kayu bulat licin semuanya. Patik minta kenalkan kayu tentukan ujung dan pangkalnya patik persembahkan ketujuh buah kapal patik ini, patik turun sehelai sepinggang sahaja.
Demi didengar oleh baginda sembah nahkoda itu, lalu titah baginda, baiklah beta minta tempoh tujuh hari kepada nakhoda. Setelah sudah, maka nahkoda kapal itu pun bermohonlah balik kekapalnya. Maka baginda pun bertitah menyuruh panggil Pak Belalang. Maka biduanda pun menyembah serta bermohon pergi mendapatkan ahlun nujum Belalang itu. Katanya, titah tuanku memanggil kebalai. Jawab Pak Belalang, apa pasal memanggil aku? Lalu ia pun turun dengan segera mengadap baginda bersama-sama dengan biduanda kebalai.
Hatta, setelah baginda melihat Pak Belalang datang itu, baginda pun memberi titah kepadanya, ayuhai ahlun nujum, apalah ikhtiar diri sekarang? Ada seorang nakhoda membawa kapal tujuh buah datang kepada beta, kerana ia ada membawa kayu bulat licin. Ia meminta kenalkan ujung pangkal kayu itu. Jikalau lalu terkenal oleh beta ujung dan pangkalnya, kapal yang tujuh buah itu diberikannya kepada beta. Jika tiada terkenal, maka negeri ini pulang kepadanya. Beta minta tempoh tujuh hari.
Arakian, telah Pak Belalang mendengar titah baginda, maka lalu ia mengangkat tangan mendatangkan sembah, ampun tuanku beribu-ribu ampun, sembah patik harap diampun, ada pun dari hal mengenal kayu, bolehlah juga patik kenalka, berkat tinggi daulat tuanku, kerana ada tujuh peti tib patik dirumah pasal mengenal kayu-kayu. Dan dua peti buku-buku pasal itu sahaja.
Titah baginda, baiklah boleh ahlun nujum lihat didalam buku-buku itu. Maka Pak Belalang pun bermohonlah kembalilah kerumahnya. Hatta, dalam pada itu sampailah perjanjian itu tujuh hari kepada malam. Maka daripada pagi-pagi hari nakhoda kapal pun bersiaplah dengan anak perahunya hendak naik kebalairung seri membawa kayu itu. Maka pada ketika hulubalang, sida-sida, bentara, penuh sesak hendak melihat temasya itu.
Maka hal Pak Belalang pada malam yang ketujuh itu turunlah ia kesampan berkayuh kekapal nahkoda itu daripada sebuah kapal kepada sebuah kapal. Hatta dengan takdir Allah subanahu wata`ala sampailah ia kekapal nahkoda yang jauh ditengah lautan sekali. Kepada masa itu nahkoda pun ada duduk sedang bermesyuaratkan darihal hendak membawa kayu itu esok harinya mengadap baginda. Maka kata sekalian anak-anak perahunya itu, ayuhai Tuan nahkoda, hamba sekalian pun sangatlah ajaib bagaimanakah hendak mengenali ujung pangkal kayu itu. Maka sahut nahkoda kepada anak-anak perahunya itu, janganlah kau sekalian cakapkan kepada orang rahsia ini, kalau didengar oleh orang rosaklah kita.
Maka kata sekalian anak-anak perahu itu, ya tuan nahkoda, dimana datang orang tengah malam ini? Maka kata nahkoda sekalian pun sangatlah ajaib bagaimanakah hendak mengenal ujung pangkal kayu itu, ada pun hendak mengenal ujung kayu itu dipegang sama tengahnya, diletakkan diatas air. Kemudian mana-mana dahulu yang tenggelam, disitulah pangkalnya.
Telah sudah nahkoda berkabarkan rahsia itu kepada anak-anak perahunya, semuanya didengar oleh Pak Belalang perkataan itu. Ia pun balik kerumahnya. Hatta, telah hari siang, pagi-pagi hari berhimpunlah sekaliannya. Maka nahkoda kapal itu pun naiklah mengadap baginda membawa kayu itu. Maka baginda pun bertitah suruh duduk seraya memandang kepintu balai penghadapan itu menantikan ahlun nujum Belalang, lalu naik keatas balai penghadapan seraya menyembah baginda. Maka ditegur oleh baginda sambil bertitah, marilah dekat dengan beta disini. Apa kabar dalam tib ahlun nujum itu?
Maka sembah Pak Belalang, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, ada pun didalam tib patik darihal hendak mengenal ujung pangkal kayu itu hendaklah dengan air, tuanku. Maka titah baginda menyuruh ambil air kepada dayang-dayang pun mengambil air, dibubuh didalam batil emas, dibawa kehadapan baginda. Maka sembah Pak Belalang, tuanku lepaskan kayu itu. Maka titah baginda, beta tiada tahu. Ahlun nujum sendiri lepaskan.
Maka Pak Belalang pun menyembah baginda seraya mengambil kayu itu. Maka ditimbangnya betul sama-sama tengah kayu, dilepaskannya didalam air itu. Maka tenggelam sebelah dahulu. Titah baginda. Apa yang dahulu temggelam itu? Maka sembah ahlun nujum Belalang, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, yang tenggelam itu pangkalnya dan ujungnya itu kemudian tenggelam kerana ringan dan pangkalnya itu berat.
Maka baginda pun memandang kepada nahkoda kapal itu seraya bertitah, apa kabar nahkoda adakah betul seperti kata ahlun nujum beta dan tiada? Maka sembah nahkoda itu, sebenarnyalah seperti kata ahlun nujum Tuanku itu. Apa hendak patik salahkan lagi? Sudah nasib patik, tuanku kerana patik dengar ahlun nujum tuanku ini arif bijaksana sangat. Inilah sebab patik mencuba kepandaiannya itu.
Maka sahut ahlun nujum, dengan sebenarnya juga encik nahkoda menyembah kebawah duli yanga maha mulia itu. Jikalau ada kepandaian arif bijaksana sekali pun jika tiada rajin usaha tiada berguna juga. Maka terasalah dihati nahkoda itu teringatkan tatkala anak-anak perahunya itu bertanyakan ujung pangkal kayu dahulu agaknya barangkali Pak Belalang itu mengendapmendengarkan kisah itu, kerana ada cakapnya itu berusaha. Tetapi itu fikiran didalam hatinya sahaja, tiada dikeluarkannya. Maka titah baginda menyuruh biduanda berikan ampun kurnia kepada nahkoda itu tujuh buah perahu serta belanja makanannya. Maka nahkoda itu pun turun dari kapal sehelai sepinggang sahaja. Maka kapal tujuh buah serta dengan isinya itu pulang kepada baginda semuanya. Maka nahkoda itu pun bermohon kepada baginda naik keperahunya langsung pulang kenegerinya.
Hatta, selang antara berapa lamanya, masuk pula sebuah kapal perdana menteri Askalan Rum mengadap baginda membawa surat rajanya kepada baginda. Tatkala itu baginda sedang semayam diatas takhta kerajaan dibalairung seri. Perdana Menteri itu pun naik lalu menyembah baginda dan mempersembahkan surat itu. Maka disambut oleh bentera dan dibaca dihadapan baginda. Demikianlah bunyinya:
Sembah sujud serta ta`zim serta takrim daripada anakanda Raja Baharum Indera Sakti dinegeri Askalan Rum, barang disampaikan kiranya mengadap kebawah tahta paduka ayahanda duli yang maha mulia. Ihwal anakanda maklumkan jikalau ada mudah-mudahan rahim kasihan belas ayahanda, anakanda pohonkan Ahlun nujum ayahanda, minta lihatkan anakanda kehilangan isteri anakanda baru kawin tujuh hari, sedang tidur dicuri oleh jin. Maka haraplah dipohonkan bersama-sama pacal Perdana Menteri itu.
Telah didengar bunyi surat itu, baginda pun menyuruh panggil ahlun nujum Belalang. Maka biduanda pun pergilah. Ada seketika lamanya, ahlun nujum Belalang pun sampailah bersama-sama dengan biduanda mengadap baginda. Maka baginda pun bertitah, hai ahlun nujum, ada pun sebab beta memanggil ini kerana ada sebuah kapal masuk kemari mengadap membawa surat darihal putera baginda negeri Askalan Rum hilang isteriny, ia sedang tidur bersama-sama dicuri oleh seorang jin. Adakah dapat ahlun nujum mengembalikan balik daripada jin itu?
Maka sembah ahlun nujum Belalang. Ampun tuanku beribu-ribu ampun, insya Allah ta`ala, berkat dengan tinggi daulat duli yang maha mulia, dari hal itu barangkali ada didalam tib-tib patik tangkal jin itu supaya ia takut. Maka titah baginda, baiklah boleh pergi sekarang bersama-sama Perdana menteri baginda ini. Maka sembah Ahlun nujum Belalang. Daulat tuanku, titah patik junjunglah. Patik pohon ampun pulang keteratak patik dahulu.
Maka titah baginda, usahlah balik dahulu. Belanja-belanja ada beta beri. Maka sembahnya, baiklah tuanku. Lalu ia menyembahkan kepada baginda bersama-sama turun kekapal Perdana Menteri itu langsung belayar kenegeri Askalan Rum. Selang antara beberapa lamanya, sampailah kejambatan larangan. Maka disambut oleh baginda itu menteri serta dengan Ahlun nujum Belalang. Maka datanglah putera baginda itu mendapatkan Pak Belalang dengan tangisnya. Titahnya , ayuhai bapa hamba, tolonglah hamba minta carikan isteri hamba yang telah dicuri oleh jin itu dengan segeranya.
Maka sembah Pak Belalang, ampun tuanku beribu-ribu ampun, pertetapkan juga hati tuanku, Insya Allah ta`ala patik pergi mencari paduka adinda itu. Maka baginda pun berangkat dari kapal naik keistana membawa Ahlun nujum Belalang, diperjamu makan dan minum tujuh hari tujuh malam, disembelih kerbau, lembu, ayam dan itik.
Hatta, lepas itu, Pak Belalang pun berdatang sembah kepada putera baginda itu. Sembahnya, ampun tuanku beribu-ribu ampun, nanti pada waktu dinihari tuanku titahkan sekalian isi negeri, rakyat bala tuanku pergi masuk kehutan sekalian isi negeri, rakyat bala tuanku pergi masuk kehutan sekaliannya mengikut patik. Tuanku pun bersama-sama berangkat. Apabila patik berhenti, tuanku sekalian rakyat pun berhenti jauh-jauh daripada patik, jangan dekat.
Maka putera baginda serta dengan dengan sekalian menteri, hulubalangnya pun mengakulah seperti sembah ahlun nujum itu. Telah malamlah, waktu dinihari, perdana menteri pun menyuruhkan sekalian rakyat isi negeri semua kehutan rimba belantara itu dengan terlalu amat kesusahannya. Hatta, apabila gari pun sudah cerah Pak Belalang pun berjalanlah bersama-sama dengan putera baginda itu diiringkan oleh menteri, hulubalangnya sekalian yang tiada tepermanai banyaknya. Maka antara beberapa lamanya sampailah Pak Belalang kepada sepohon kayu beringin ditengah padang , terlalu amat rendang pokoknya. Lalu berhentilah akan lelahnya teramat sangat, dan matanya pun mengantuk seperti diperekat rasanya. Ia pun berbaring dibawah kayu beringin itu lalu tertidur.
Hatta, dengan takdir Allah Tuhan sarwa sekalian alam, kepada ketika itu datanglah seorang tua, janggutnya putih hingga kepusatnya, seraya berkata dengan suara yang dahsyat. Sabdanya, hai Pak Belalang apakah pekerjaan engkau demikian ini sentiasa berbuat bohong sahaja, tiada perkataan yang sebenarnya? Maka Pak Belalang pun terkejut mendengarkan sabda orang tua itu, seraya menyembah, katanya, hamba tuan sungguhlah berbohong sahaja, kerana dengan hal mencari napakah hamba.
Maka sabda orang tua itu, dengan sebenarnya engkau berbuat bohong semata-mata, tetapi bohong engkau itu diperkenankan Allah ta`ala tiada menganiayai orang sekali-kali, semata-mata membuat kerana Allah memelihara raja sendiri daripada percubaan Tuhan sarwa sekalian alam keatas hambanya. Maka sekarang ini apalah pekerjaan engkau? Hendak kemana?
Maka sembah Pak Belalang didalam tidurnya, hamba tuan dititahkan oleh putera baginda ini meminta carikan isterinya dicuri oleh jin konon. Inilah hamba kerjakan. Maka sabda orang tua itu, bagaimanakah hal engkau hendak mencarinya itu? Maka sembah Pak Belalang, entahlah tuan tiada hamba tahu. Apakah nama tuan hamba?
Maka disahut oleh orang tua itu, betalah yang bernama nabi Allah Khidir, Kutubu`l alam menjaga hutan dan daratan dengan titah Tuhan beta. Ada pun darihal engkau hendak mengambil tuan puteri itu, inilah isim Allah ta`ala ya`ni tangkal yang ditakuti oleh jin, beta ajarkan. Bacalah kepada jin itu supaya ia lari. Kemudian engkau ambilah tuan puteri itu.
Maka diajarkannya suatu isim kepada Pak Belalang. Dapatlah olehnya. Maka sabda Kutubul`alam, ada pun sekarang jin itu sedang tidur memangku Tuan Puteri itu didalam suatu gua batu ditepi gunung. Segeralah pergi ketempat itu. Hatta, telah sudah berkata-kata Pak Belalang pun jaga daripada tidurnya. Maka dengan tiada lengah lagi lalu berjalan menuju kegunung itu. Maka putera baginda dengan menteri, hulubalang, rakyat pun bersama-samalah mengikuti jauh-jauh dari belakang. Dalam hal yang demikian sampailah kepada suatu gua batu. Betullah dilihatnya jin itu sedang memangku Tuan Puteri itu sedang tidur juga kedua-duanya. Maka balutlah mata Tuan Puetri itu bekas menangis. Tersangatlah belas kasihan Pak Belalang melihatnya. Maka segeralah ia membacakan isim Allah ta`alaseperti pengajaran Kutubul alam itu. Dengan berkat isim doa itu, dihembuskan oleh Ahlun nujum dikepalanya, maka jin itu pun terbanglah lari, tinggallah Tuan Puteri itu. Maka segeralah diambil oleh Pak Belalang dengan besar suaranya meminta tolong. Katanya, tolong Yuanku, segera ini adinda.
Maka apabila didengar oleh putera baginda dengan menteri, hulubalangnya maka sekalian rakyat pun berhimpum mengiringkan puteri itu, diletakkan diatas geta yang keemasan, dihadapi oleh dayang-dayang, bentar, sida-sida sekalian bertunggu menjaga Tuan Puteri itu lagi pengsan tiada sedarkan dirinya. Maka diambil oelh Pak Belalang air, dibacanya isim tadi, disiramkan pada seluruh tubuhnya.
Maka Tuan Puteri pun sehatlah sedikit lalu bangun duduk santap nasi. Maka putera baginda itu pun teramatlah sukacita melihat isterinya sudah didapati, lalu duduk disitu serta memuji-muji ahlun nujum itu, lalu menitahkan menteri hulubalang rakyat hina dina sekalian bersiap hendak kenduri melepaskan nazarnya, menyembelih kerbau, lembu, ayam dan itik makan minum tujuh hari tujuh malam.memberi sedekah kepada fakir miskin dengan beberapa pula hadiah kelelahan ahlun nujum Belalang itu, dikurniakan oleh baginda daripada harta emas, perak, kain baju dan hamba, dan kapal sebuah, cukup dengan isinya kapal itu.
Maka ahlun nujum Belalang pun mengajar putera baginda itu akan isim yang diajarkan oleh Kutubul alam itu, di perbuat tangkal Tuan Puteri itu, supaya jangan dicuri oleh jin itu balik. Maka kepada ketika yang baik, Pak Belalang pun bermohon hendak balik kenegerinya dihantar oleh putera baginda itu kedua laki isteri hingga kekapal serta dipasangkan meriam alamat tanda kebesaran diatas ahlun nujum itu. Setelah sampai kapal. Putera baginda itu pun berpeluk bercium denga ahlun nujum Belalang, bertangis-tangisan. Lalu berangkat kembali keistananya. Maka ahlun nujum Belalang pun belayarlah pulang kenegerinya. 

Jumat, 01 April 2011





Mozaik  3
Kemarau
BARANGKALI  karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena gerah. Barangkali karena musim kemarau yang terlanjur berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat tidak enak setelah bulan Maret sampai September.
            Tak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di luar. Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk- liuk seperti belut sawah di atas panggung berhias pelepah kelapa di pinggir pantai, lebih menyanyikan maksiat daripada lagu. Tapi hanya lama- lama sekali, pun kalau harga timah sedang bagus- yang amat jarang bagus.
            Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat perbelanjaan untuk dikunjungi. Yang sedikit perhatian hanya sebuah jam besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum panjangnya mengembuskan nafas terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu kemana. Melihat jam itu sejak kecil, aku punya firasat bahwa jika nanti dunia kiamat, kejadiannya akan tepat pukul lima.
            Namun, tak pernah kami risaukan semua itu, sebab kami punya sebuah museum, dan museum kami adalah museum yang hebat di dunia ini. Tak ada yang bisa menandinginya sebab ia museum sekaligus kebun binatang.
            Baiklah, mari bicara soal museum. Disana ada sebuah ruangan yang jika dimasuki harus membuka sandal dan mengucapkan Assalamualaikum, demi menghormati tombak- tombak karatan, peninggalan para hulubalang antah barantah. Uang kecil yang diselipkan ke dalam kotak di samping tombak- tombak itu dapat menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng mencari jodoh. Anak- anak yang tak sengaja menunjuk tombak- tombak ituharus mengisap telunjuknya, agar tidak kualat.
            Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan- hewan berkeliaran. Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi oleh orang- orang yang ingin melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak seperti kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di dalam kalbunya. Ada orang utan uzur yang sudah ompong dan tampak terang- terangan menafsui bebek- bebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama sekali. Lalu ada singa tua kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa itu sepertinya sangat benci pada hidupnya sendiri. Mereka muak melihat orang- orang udik yang menonton mereka di dalam kandang. Konon mereka dihibahkan ke kampung kami karena telah afkir dari sebuah kebun binatang di Jawa, di mana mereka dianggap tidak sexy lagi. Namun, seperti segala sesuatu yang kami terima apa adanya, seperti segala sesuatu yang tak pernah berubah di kampung kami, mahluk- mahluk hidup segan mati tak mau itu selalu punya tempat di dalam kebun binatang kami, di dalam hati kami. Hewan- hewan itu menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari jenisnya masing- masing, jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur- umur. Sungguh mengerikan hidup ini kadang- kadang.
            Jika kemarau makin menggelegak, aku menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal keruk yang termangu- mangu di pinggir sungai. Kapal itu hanya tinggal segunung besi rongsokan. Mesin besar nan digdaya, dulu selalu dikagumi anak- anak Melayu. Ketika meskapai Timah masih berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi bumi untuk meraup timah. Kini satu- satunya yang tertinggal, tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti fosil dinosaurus.
            Kapal keruk pernah menjadi pendendang irama hidup kami, bagian penting dalam budaya kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama 24 jam. Takkan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh kapal keruk menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah pagi buta itu sambil menenteng rantang bekal makanan dari ibu.
            Jika melihatku terbangun, ayah kembali untuk mengusap rambutku dan tersenyum. Dari dalam rumah kudengar ayah mengucapkan salam pada kawan- kawan kerjanya yang telah berdesakkan di dalam bak truk. Kawan- kawan kerjanya itu adalah ayah dari kawan- kawanku. Lalu kudengar gemerincing besi saling beradu, kemudian truk menggerung meninggalkan rumah.
            Sering aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi itu. Karena aku ingin melihat ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh wibawa, yang ada taspen di sakunya, yang berbau sangat lelaki. Ayah melangkah tangkas sambil menyandang ransel berisi tang, ragum dan sekeluarga kunci inggris. Kunci- kunci baja putih itujika dibariskan akan membentuk suatu segitiga yang sangat hebat. Kubayangkan, tugas- tugas yang berat diemban oleh bapak kunci yang paling besar, dan tugas- tugas sepele adalah bagian anak- anaknya. Aku senang melihat ayah melompat ke dalam bak truk. Dia, pria yang gagah itu, adalah ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi, sambil tersenyum.
            Berlangsung seperti itu, hari demi hari, selama bertahun- tahun, tak berubah, sejak masa lampau zaman pendudukan Belanda. Setelah dewasa, jika secara tak sengaja aku terbangun pukul dua pagi, di negeri mana pun aku berada, seakan kudengar suara klakson mobil truk, lalu menguar suara orang- orang mengucapkan salamdan gemerincing besi saling beradu. Aku termangu. Kerinduan pada ayah menjadi tak tertanggungkan. Tanpa kusadari air mataku mengalir, mengalir sendiri, tak mampu kutahan.

Mozaik  4
Gamang
JENAZAH ZAMZAMI digotong pulang dari ladang tambang. Setelah berunding singkat, diutuslah Sirun untuk menjemput Enong ke sekolahnya. Bu Nizam tengah mengajar bahasa Inggris ketika Sirun tiba. Ia terkejut mendengar berita buruk yang dibawa oleh Sirun.
Sirun sedih melihat Enong yang tengah menekuri bukunya dengan tekun. Ia mendekatinya. Seisi kelas memperhatikannya. Ia mencoba menahan perasaannya ketika mengajak Enong pulang. Enong bertanya mengapa diajak pulang. Sirun tak tega menyampaikan apa yang telah terjadi.
“Nanti saja, sampai di rumah, kau akan tahu.” Enong bergeming. Ia tak mau pulang. Katanya, ia sedang belajar dan ia senang pelajaran bahasa Inggris. Sirun mendesaknya berkali- kali. Ia beranggapan tak baik mengabarkan petaka yang menimpa keluarga anak kecil itu di depan teman- temannya.
            “ Harus ada alasa, Pak Cik,” ujar Enong dengan jenaka.
“Harus ada alasan jika seseorang meninggalkan pelajaran, dan alasan itu harus kuat.” Pendapat itu disambut riuh teman- temannya. Apalagi, katanya, ia baru dibelikan ayahnya kamus. Ia kemudian mengatakan tentang menariknya pelajaran bahasa Inggris yang tengah diajarkan Bu Nizam.
            “Pelajaran tentang anggota keluarga, Pak Cik,”ia memberi contoh.
Mother artinya ibu, father- ayah, daugther – anak perempuan, son- anak laki-laki.” Kawan- kawannya tertawa melihatnya menjelaskan pelajaran bahasa Inggris kepada seorang kuli tambang. Bu Nizam tersenyum getir melihat semangat Enong dan mendengar pengucapannya yang kaku. Sirun membujuknya lagi. Enong tak mau. Ia berkata minta alasan. Sirun tak punya pilihan lain.
            “Kau harus pulang, Nong, Ayahmu meninggal.”
            Enong yang sedang ingin mengucapkan sesuatu tersentak.
Seisi kelas diam. Senyap, wajah Enong pucat. Ia menatap Sirun.
            “Iya, Nong, pukul tiga tadi.”
Mata Enong mendadak merah.
“Pak Cik pasti salah. Aku baru dibelikan Ayah kamus bahasa Inggris. Sebentar lagi aku dijemput ayah,” suaranya bergetar- getar. Ia menatap Bu Nozam, minta dibela.
            “Benarkah ini?”
            “Benar, Nong, kecelakaan di tambang.”
Mata Enong berkaca- kaca, lalu ia terisak- isak. Ibu Nizam tampak sedih.
            “Pulanglah, Nong,” katanya.
Enong menangis. Air matanya berjatuhan di halaman kamusnya.

Ø
Dari kejauhan, Enong melihat orang berduyun- duyun melayat dengan membawa rantang berisi beras. Di dalam rumah, jenazah ayahnya terbujur. Enong memeluk ibunya. Ia tak bisa lagi menangis.
            Usungan jenazah dipikul ke pemakaman. Di antara para pelayat menguap kabar tentang makin banyaknya tambang menelan korban. Timah terbaik yang mengalir di permukaan bumi yang dangkal dan mudah ditambang telah dijarah Belanda selama ratusan tahun. Yang tersisa timah yang masih baik, namun lebih dalam, telah pula diraup oleh kapal- kapal keruk maskapai timah selama berpuluh tahun. Sisa dari yang tersisa, hanyalah timah buruk yang terlipat amat dalam di bawah tanah. Bulir demi bulir timah itu ditambang penduduk asli dengan pacul, didulang dengan tangan, dan dengan satu sikap dipaksa  rela oleh kemiskinan untuk terkubur hidup- hidup. Berkubang berminggu- minggu hingga tak jarang hanya menghasilkan beberapa ribu rupiah. Di dalam tanah yang gelap itulah Zamzami menemui ajal.
            Pulang dari pemakaman, Enong merasa heran mengapa banyak irang memandanginya. Maghrib menjelang Syalimah mengantar pelayat terakhir ke pekarangan. Anak- beranak itu memandangi jalanan kosong kerikil merah yang sekarang tampak seakan  tak berujung. Mereka saling merapatkan diri demi mengumpu- ngumpulkan keberanian untuk menghadapi hari- hari esok, yang tak terbayangkan kerasnya.
            Subuh esoknya, Syalimah lekas- lekas bangun demi mendengar suara panggilan azan. Ia ke dapur dan menanggar air. Ketika meniupkan siang  untuk menghidupkan kayu bakar, ia tersentak karena sebuah kesenyapan. Ia baru sadar, untuk siapa ia menyeduh kopi ? ia bangkit dan beranjak menjauhi tungku tanpa merasakan kakinya menginjak lantai. Suara suaminya mengaji Alqur’an saban shubuh telah menemaninya menghidupkan api dapur berbelas tahun. Syalimah duduk termangu, berkali- kali mengusap air matanya.
Ø
Secara mendadak kehilangan tiang penopang, keluarga Syalimah langsung limbung. Tak punya modal, tak punya keahlian, dan tak ada keluarga lain dapat diminta bantuan karena semuanya miskin membuat keluarga itu mati kutu. Tak pernah terpikir nasib sepedih itu akan menimpa mereka secara sangat tiba- tiba. Sang suami adalah tulang punggung keluarga satu-satunya dan hal itu baru disadari sepenuhnya setelah ia tiada.
            Sedangkan Enong, bermalam- malam tak bisa tidur. Ia gamang memikirkan apa yang selalu dikatakan orang tentang anak tertua. Namun, ia bahkan tak sepenuhnya paham makna tanggung jawab.  Ia takut membayangkan akibat dari kata itu. Apakah ia harus bekerja? bagaimana ia akan menghidupi keluarga, seorang ibu, dan tiga orang adik? Apakah harus berhenti sekolah? Ia amat mencintai sekolah. Ia bingung karena masih terlalu kecil untuk membenturkan diri dengan perkara seberat itu. Sekarang ia paham mengapa waktu itu banyak pelayat memandanginya.
            Belum sebulan ditinggal suami, Syalimah  telah kehabisan beras. Bahkan, beras yang diantar orang ketika melayat itu pun telah habis. Ia mulai meminjam beras dari tetangga demi menyambung hidup hari demi hari. Enong tahu bahwa beberapa anak perempuan tetangga sesama keluarga pendulang telah berangkat ke Tanjong Pandan untuk bekerja sebagai penjaga toko, tukang cuci di rumah orang kaya, atau buruh pabrik. Ia berusaha meyakinkan ibunya bahwa ia bisa bekerja seperti itu. Apa susahnya menjadi penjaga toko? Katany.
            Syalimah semula menolak. Berat baginya melepas Enong dari sekolah dan harus bekerja jauh dari rumah. Anak itu baru kelas enam SD. Tapi, ia akhirnya luluh karena Enong mengatakan tak bisa menerima jika adik- adiknya berhenti sekolah karena biaya. Ia sendiri rela mengorbankan sekolahnya. Ini adalah keputusa paling pahit bagi Syalimah. Putriny tak pernah sekalipun meninggalkan kampung, kini harus berjuang menghadapi hidup yang keras di kota. Ia sendiri tak mampu berbuat apa- apa karena tak bisa mengalihkan perhatian dari tiga anak lainnya.


Mozaik  5
Rahasia 23 Oktober
DIAM- DIAM sejak masih kecil dulu, telah kutandai, kalau hujan pertama musim hujan turun pas pada pada 23 Oktober, dan sore, pasti kampungku akan tampak lebih memesona. Jika sebelum dan sesudah hari itu, alam kacau- balau macam tak bertuan. Hujan tumpah sembarang waktu, sering menjadi badai dan banjir, kadang ia turun shubuh- shubuh, merepotkan orang yang ingin ke mesjid, sekolah, pasar, dan kantor. Singkat pula waktunya atau terlalu lama, sampai Mei tahun muka.
            Kalau ia pertama kali turun pada tanggal 23 Oktober, nah ia akan mengguyur dengan teratur, usai ashar biasanya, lembut, berkawan, adakalany syahdu. Karena itu, banyak orang kawin pada bulan Oktober. Delima, angsana, kemang, dan kecapi akan memucuk bersamaan, jamur tiong yang indah dan dapat dimakan akan subur. Bunga bakung akan bersemi lebih awal sampai sempat dua kali berbuah sepanjang musim hujan itu. Akibatnya, burung punai akan makin besar rombongan migrasinya. Gelap awan selatan dibuatnya.
            Tengah hari yang panas aan diusir awan kelabu yang dikirim angin dari barat. Satu masa ajaib yang singkat, meruap. Semua orang mendadak riang tanpa dapat dijelaskan mengapa. Sambil bersenda gurau, perempuan- perempuan Mengangkat jemuran pakaian yang hampir kering, lalu memekik rara riri, krat krut krut krut memanggil pulang ayam dan entok- entoknya. Lelaki tergopoh- gopoh meneduhi sepeda dan jemuran batu baterai. Pada momen emas itu, kami melompat dari rumah panggung, menghambur ke pekarangan mesjid Al- Hikmah, bertengkar- tengkar kecil di bawah menara mesjid soal rencan asyik untuk hujan sore yang segera tumpah. Guruh halus menggoda- goda.
            Hujan akan berhenti tak sampai matahari terbenam. Kami beramai- ramai berlari ke tali air. Di bantaran danau, kami duduk saling berpeluk pundak, memandangi anak- anak belibis berenang berbaris- baris dan lingkar terang pelangi. Saban sore, selama musim hujan, seseorang memindahkan surga dari langit ke kampung kami.
            Lalu, langit dikuasai berkawan- kawan burung punai yang memimpin kafilahnya, beribu- ribu jumlahnya, sampai gelap langit dibuatnya. Skuadron berwarna hijau itu melesat di atas danau tali air. Mereka tak peduli pada kami, bahkan mereka tak peduli pada kecantikan mereka sendiri, yang selalu kami kagumi sejak kami diizinkan orang tua bermain di pinggir danau itu. Yang ada di dalam kepala mereka hanya hamparan bakung yang ranum di nun hulu sungai dan bagaimana beradu cepat dengan kawanan lainnya agar tak kehabisan buah bakung. Punai- punai itu menyihir kami sampai mulut- mulut kecil kami ternganga. Mereka bak lukisan beterbangan di angkasa. Sang raja punai terbang paling muka. Jika menukik sedikit saja, ribuan punai di belakangnya serentak menukik. Jika ia berbelok, semuany berbelok. Sesekali ia bermanuver ke puncak- puncak pohon kenari yang ada di pekarangan rumah di kampung. Tapi sebentar saja, lalu sang raja mengepakkan sayapnya, dan terangkatlah ke udara permadani hijau itu. Hebat sekali raja punai itu. Dialah penguasa langit.
            Awal Februari, secara misterius hujan beranjak ke malam hari. Ia mengunjungi kampung setiap malam dan baru benar- benar lenyap pada akhir Maret. Sebuah musim hujan yang sempurna pun sirna. Ia mohon diri lewat rintik- rintik lembut di ujung musim, lalu bersama kawannya sang guruh yang gagah perkasa itu, mereka pergi tak tahu ke mana.
            Demikian teoriku tentang hujan pertama pada 23 Oktober. Teori yang konyol tentu saja sehingga tak pernah kukisahkan kepada siapa pun. Ia telah menjadi rahasiaku yang terpendam lama sejak aku kecil dulu.
            Lambat laun, teori itu berubah menjadi semacam godaan. Aku sering meyakinkan diriku sendiri, bahkan memaksa untuk memercayai sesuatu yang dibangun di atas logika yang aneh. Aku, alam, dan hujan pertama, telah membentuk semacam persengkokolan, yang begitu ganjilnya sehingga di dunia ini, hanya aku yang boleh tahu. Aku malah sering merahasiakannya, dari diriku sendiri.
            Namun, bukankah adakalanya, menyerahkan diri pada godaan dan memelihara rahasia, menjadi bagiandari indahnya menjalani hidup ini? Lagi pula aku yakin, suatu hari nanti, seorang cerdik cendekia, yang memahami ilmu hujan, akan menjelaskan padaku soal itu.


Sumber : Novel Dwilogi Padang Bulan
Karya : Andrea Hirata







































































































Selasa, 29 Maret 2011

berfirman Tuhan kepada Nabi Muhammad
dengan para sahabat pengembang agama
mendengar fitnah dari sana sini
umpat dan caci susah sekali
kaum muslimin dan para sahabat
beserta nabi Muhammad satu perjuangan
orang kafir memandang Nabi Muhammad
beserta para sahabat susah tak punya harta


pada galibnya Islam tidaklah menang
kaum muslim hanya satu dua
orang kafir percaya pada kekuatan
padahal kebenaran padanya tak ada
kaum Muslimin di pihak yang benar
itulah Al Kautsar jiwa agama
tikat yang benar akan diuji
dengan dengki dan kaya raya



harta dicari dengan iktikat yang benar
itulah kautsar pengembang agama

Minggu, 27 Maret 2011

Sabtu, 26 Maret 2011



Mozaik 1
Lelaki Penyayang

Syalimah Gembira karena suaminya mengatakan akan memberinya hadiah  kejutan. Syalimah tak tahan.
            “aih, janganlah bersenda gurau, Pak Cik. Kita ini orang miskin. Orang miskin tak kenal kejutan.
            Mereka tersenyum.
            “kejutan- kejutan begitu, kebiasaan orang kaya. Orang macam kita, ni ? Saban hari terkejut. Datanglah ke pasar kalau pak cik tak percaya.”
            Suaminya- Zamzami – tahu benar maksud istrinya. Harga- harga selalu membuat mereka terperanjat.
            “telah lama kau minta,” kata suaminya dengan lembut.
            Syalimah kian ingin tahu. Waktu mengantar suaminya ke pekarangan dan menyampirkan bungkus rantang bekal makanan di setang sepeda, ia bertanya lagi, Zamzami tetap tak menjawab.
            “sudah bertahun- tahun kau inginkan, baru bisa kubelikan sekarang, maaf.”
            Zamzami meninggalkan pekarangan, namun kembali. Ia mengatakan ingin mengajak Syalimah melihat- lihat bendungan.
            “apa Yahnong takkan bekerja?”
            Yahnong, singkatan untuk ayah bagi anak tertua mereka, Enong. Kebiasaan orang Melayu menyatakan sayang pada anak tertua dengan menggabungkan nama ayah dan nama anak tertua itu.
            “sudah lama aku tak memboncengmu naik sepeda”
            Bendungan itu tak jauh dari rumah mereka. Dulu dipakai Belanda untuk membendung aliran anak- anak Sungai Linggang agar kapal keruk dapat beroperasi. Sampai disana mereka hanya diam memandangi permukaan danau yang tenang. Tak bicara, seperti mereka dulu sering bertemu di sini.
            Mereka pulang. Zamzami berangkat kerja. Syalimah tak memikirkan soal kejutan itu. Ia bahkan lupa pernah meminta apa pada suaminya. Delapan belas tahun mereka telah berumah tangga, baru kali ini suaminya akan memberi kejutan. Semua hal, dalam keluarga mereka yang sederhana, amat gampang diduga. Penghasilan beberapa ribu rupiah mendulang timah, cukup untuk membeli beras beberapa kilogram, untuk menyambung hidup beberapa hari. Semuany difahami Syalimah di luar kepala. Tak ada rahasia, tak ada yang tak biasa, dan tak ada harapan muluk- muluk. Tahu- tahu, macam bakung berbunga di musim kemarau, suaminya ingin memberinya kejutan.
            Syalimah dan Zamzami berjumpa waktu pengajian ketika mereka masih remaja. Zamzami yang pemalu, begitu pula Syalimah, menyimpan rasa suka diam- diam. Zamzami tak pernah berani mengatakan maksud hatinya, dan Syalimah takut menempatkan dirinya pada suatu keadaan sehingga lelaki lugu itu dapat mendekatinya.
            Namun, lirikan curi- curi di tengah keramaian itu kian hari kian tak tertahankan. Zamzami mengurangi kecepatannya menambah juz mengaji, padahal ia membaca Alqur’an lebih baik daripada ia membaca huruf latin. Tujuannya agar semakin lama berada dalam kelas yang sama dengan Syalimah. Berulang kali ditanyakannya pada ustaz hal- hal yang ia sudah tahu. Dibentak bebal ia tersenyum sambil menunduk. Sedangkan Syalimah, berpura-pura bodoh membaca tajwid, dimarahi ustaz, biarlah. Maksudnya serupa dengan maksud Zamzami. Semua taktik yang merugikan diri sendiri itu, jika boleh disebut cinta, itulah cinta.
            Sungguh indah, atas saran ustaz- lantaran mencium gelagat yang tak beres antara dua murid mengaji yang tak tahu cara mengungkapkan cinta itu- mereka malah dijodohkan orangtua masing- masing.
            Sejak mengenal Zamzami, Syalimah tahu ia akan bahagia hidup bersama lelaki itu, meski, ia juga mafhum, ada satu hal yang harus ia hindari : minta dibelikan apapun sebab lelaki baik hati yang dicintainya itu hanyalah lelaki miskin yang berasal dari keluarga pendulang timah. Namun Syalimah tak perlu dibelikan harta benda sebab Zamzami adalah harta yang paling berharga, melebihi segalanya. Lelaki itu amat penyayang pada keluarga sehingga Syalimah tak memerlukan harta apapun lagi di dunia ini.
            Menjelang tengah hari, sebuah mobil pikap berhenti di depan rumah. Dua lelaki mengangkat benda yang dibungkus terpal dari bak mobil itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Syalimah bertanya- tanya mereka tak mau menjawab.
            “malam ini ada pasar malam di Manggar, Mak Cik.” Kata salah satu lelaki itu sambil tersenyum.
            Syalimah memandangi benda itu dengan gugup, tapi gembira. Pasti benda itu yang dimaksud suaminya dengan ­kejutan. Rupanya sungguh luar biasa pengaruh sebuah kejutan. Kucing- kucingnya yang lucu melingkari benda itu, menggodanya untuk mendekat. Syalimah melangkah maju, namun di tengah jalan, ia ragu. Ia kembali ke ambang pintu.
            Syalimah menertawakan kelakuannya sendiri karena keranjingan menikmati sensasi sebuah kejutan. Lalu, ia berpikir, kejutan itu tak sanggup ia atasi dan terlalu indah untuk dinikmati sendiri. Ia akan menunggu Enong, putri tertuanya itu, pulang dari sekolah. Mereka akan menikmati kejutan itu berdua. Tentu akan sangat menyenangkan.
            Namun, Syalimah tak tahan untuk segera tahu apa yang dibelikan suaminta untuknya, sedangkan Enong baru akan pulang sore nanti. Sesekali ia melongok ke arah benda yang misterius itu. Ia memberanikan diri dan melangkah pelan mendekatinya. Di depan benda itu jantungnya berdebar- debar. Ia memejamkan mata dan menarik terpal. Ia membuka matanya dan terkejut tak kepalang melihat sesuatu berkilauan : sepeda Sim King made in RRC!
            Syalimah terhenyak. Ia tak menyangka sepeda itu dihadiahkan Zamzami untuknya sebagai kejutan. Bukan hanya karena sepeda itu akan menjadi benda paling mahal di rumah mereka, melainkan karena ia memintanya hampir empat tahun silam. Itupun sesungguhnya bukan meminta. Waktu mengandung anak bungsunya, ia berkisah pada Zamzami, betapa dulu ia bahagia sering dibonceng almarhum ayahnya naik sepeda ke pasar malam, dan disana dibelikan balon gas.
            “Kalau anak ini lahir,” kata Syalimah bercanda. ”Sepeda itu tak cukup lagi untuk membonceng anak- anak ke pasar malam.” Karena anak mereka akan menjadi empat, sedangkan mereka hanya punya dua sepeda reyot.
            Syalimah tak dapat menahan air matanya. Ia terharu mengenang suaminya telah menyimpan percakapan itu selama bertahun- tahun dan memegannya sebagai sebuah permintaan. Betapa baik hati lelaki itu. Lalu, Syalimah terisak begitu teringat bahwa hari itu Sabtu dan malam nanti ada pasar malam di Manggar. Kini ia paham maksud lelaki yang mengantarkan sepeda itu. Suaminya pasti merencanakan berangkat sekeluarga naik sepeda ke pasar malam, seperti dulu ayah Syalimah selalu memboncengnya naik sepeda ke pasar malam.
            Selanjutnya, Syalimah hilir mudik di dapur menghitung bagaimana membagi anak- anaknya pada tiga sepeda. Sang ayah, satu- satunya lelaki di dalam keluarga, berarti yang paling kuat, akan membeonceng keranjang pempang dan di dalamnya akan dimasukkan si nomor dua, gadis kecil yang bongsor itu.
            Si nomor tiga, yang cerewet, akan dibonceng oleh kakaknya, Enong, dan si bungsu akan dibonceng Ibu, naik sepeda baru Sim King made in RRC, hadiah kejutan itu. Tak terperikan bahagianya perjalanan ke pasar malam nanti. Meski telah menetapkan pengaturan pembagian sepeda, Syalimah berulang kali menghitungnya di dalam hati, karena perhitungan itu menimbulkan perasaan indah dalam hatinya.
            Kemudian Syalimah tak sabar menunggu suaminya pulang. Ia berdiri di ambang jendela, tak lepas memandangi langit yang mendung dan ujung jalan yang kosong ia ingin segera melihat suaminya berbelok di pertigaan di ujung jalan sana, pulang menuju rumah. Ia akan menyongsongnya di pekarangan dan mengatakan betapa indahnya sebuah kejutan. Ia mau mengatakan pula bahwa mulai saat itu mereka harus lebih sering memberi kejutan karena kejutan ternyata indah.
            Syalimah gembira melihat seseorang bersepeda dengan cepat. Jika orang itu-Sirun- telah pulang, pasti suaminya segera pula pulang. Namun, sirun berbelok menuju rumah Syalimah dengan tergesa- gesa. Buruh kasar itu langsung masuk dan dengan gemetar mengatakan telah terjadi kecelakaan. Zamzami tertimbun tanah. Syalimah terpaku di tempatnya berdiri. Napasnya tercekat. Ia tak bisa berbuat apa- apa. Sirun memintanya menitipkan anak- anaknya kepada tetangga dan mengajaknya ikut ke tambang.
            Sampai disana, Syalimah melihat orang berteriak- teriak panik dan menggunakan alat apa saja untuk menggali tanah yang menimbun Zamzami. Para penambang yang tak punya cangkul menggali dengan tangannya, secepat- cepatnya. Syalimah berlari dan bergabung dengan mereka. Ia menggali tanah dengan tangannya sambil tersedak- sedak memanggil suaminya. Keadaan menjadi semakin sulit karena hujan turun. Tanah yang sedang menimbun Zamzami berubah menjadi lumpur. Para penambang berebut dengan waktu. Jika terlambat Zamzami pasti tak tertolongdan Zamzami mulai memasuki saat- saat tak tertolong itu. Syalimah menggali seperti orang lupa diri sambil menangis, sampai berdarah ujung- ujung jarinya. Ia berdoa agar Zamzami tertimbun dalam keadaan tertelungkup. Penambang yang tertimbun dalam keadaan tertentang tak pernah dapat diselamatkan. Galian semakin dalam, Zamzami belum tampak juga. Tiba- tiba Syalimah melihat sesuatu. Ia menjerit.
            “ini tangannya!  ini tangannya!”
            Orang- orang menghambur ke arah tangan itu. Syalimah gemetar karena tangan yang menjulur itu terbuka. Suaminya telah tertimbun dalam keadaan telentang. Para penambang cepat- cepat menarik Zamzami. Ketika berhasil ditarik, lelaki kurus itu tampak seperti tak bertulang. Tubuhnya telah patah. Pakaiannya compang- camping menyedihkan. Zamzami diam tak bergerak. Semuany telah terlambat.
            Syalimah tersedu- sedan. Ia bersimpuh di samping Zamzami yang telah mati. Ia mengangkat kepala suaminya ke atas pangkuannya. Kepala itu terkulai seperti ingin bersandar. Syalimah membasuh wajah Zamzami dengan air hujan, lalu tampak seraut wajah yang pias dan sepasang mata yang lugu. Syalimah mendekap lelaki penyayang itu kuat-kuat. Ia meratap- ratap memanggil- manggil suaminya.


Mozaik  2
Bahasa Inggris

SELAIN MENGGABUNGKAN nama ayah dan nama anak tertua, orang melayu udik biasa menamai anak dengan bunyi senada seirama. Jika nama anak tertua Murad, misalnya, tujuh orang adik di bawahnya Munzir, Muntaha, Munawaroh, Mun’im, dan Munmun. Lantaran anak sangat banyak, hal itu kerap menimbulkan kekacauan. Seringkali nama- nama itu tertukar. Dalam keadaan panik, umpama, salah satu anak menyiramkan minyak tanah pada kambing yang akan dikurbankan pada hari raya Idul Adha, dalam rangka membuat obor- ini berdasarkan pengalaman pribadiku- ibunya hanya bisa berteriak- teriak histeris, “Mun! Mun! Mun!” sambil berpikir keras mengingat- ingat Mun yang mana yang berkelakuan macam setan itu.
            Ajaibnya budaya. Selidik punya selidik, ternyata hubungan awal nama anak tak sering ada hubungannya dengan huruf awal nama ayah-ibunya. Artinya, huruf awal itu dipilih secara random saja sesuai suasana hati. Maka dapat disimpulkan, bagi orang Melayu kampung, kekacauan itu disengaja dan merupakan bagian dari seni punya anak banyak, serta merupakan bagian dari kasih sayang nan tak terperikan pada anak- anak yang berderet-deret macam pagar itu.
            Lalu, ada pula kebiasaan yang unik. Anak muda sering dipanggil Boi. Ini tak ada hubungannya dengan Boydalam bahasa Inggris sebab anak perempuan pun sering dipanggil Boi . Namun,  Enong adalah kisah yang berbeda. Enong adalah panggilan sayang untuk anak perempuan. Begitulah cara Zamzami memanggil anak tertuanya.
            Enong duduk di kelas enam SD dan merupakan siswa yang cerda. Sejak kelas satu, ia selalu menjadi juara kelas. Pelajaran pavoritnya adalah bahasa Inggris dan cita- citany ingin menjadi guru seperti Bu Nizam.
            Ibu Nizam, guru senior dari Pematang Siantar. Puluhan tahun lampau, ia ditempatkan pemerintah untuk mengajar di kampung kami. Ia sangat dihormati karena keberaniannya merantau demikian jauh dalam usia yang sangat muda, demi pendidikan. Dialah guru bahasa Inggris pertama di kampung kami.
            Zamzami amat bangga dengan cita- cita Enong. Ia Enong mendapat kesempatan pendidikan setinggi- tingginya. Sekolah Enong adalah nomor satu baginya. Selelah apapun bekerja, ia tak pernah lupa menjemput Enong. Sering Zamzami bercerita pada Sirun.
            “Run, dapatkah kau bayangkan, anakku mau menjadi guru sebuah bahasa dari Barat?”
            Sirun takjub
            “kita ini, Run, bahasa Indonesia pun tak lancar.”
            “Bahasa dari Barat? Bukan main, Bang, bukan main.”
            Kemungkinan menjadi gurudari sebuah bahasa yang asing dari Barat itu pula yang membuat Zamzami tak pernah mengeluh meski harus bekerja membanting tulang seperti kuda beban. Ia berusaha memenuhi apa pun yang diperlukan Enong untuk cita- cita hebatnya itu.
            Zamzami sering mendengar Enong berbicara soal kamus bahasa Inggris. Dari nada suaranya, ia tahu putrinya ingin sekali punya kamus. Sebaliknya, meskipun masih kecil, Enong paham ayahnya miskin. Ia tak pernah minta dibelikan kamus, tak pernah minta dibelikan apapun.
            Zamzami sendiri pernah melihat kamus yang hebat di pedagang buku bekas kaki lima Tanjung Pandan. Kamus itu adalah Kamus Satu Miliar kata. Sejak melihat kamus itu dan mengenang keingingan putrinya, membeli kamus telah menjadi impian Zamzami dari hari ke hari. Ia bekerja lebih keras di ladang tambang dan menambah penghasilan dengan berjualan air nira setiap ada pertunjukkan orkes Melayu. Hari Sabtu ia ke laut mencari kerang untuk dijual di pasar ikan. Hari minggu ia berjualan tebu yang ditusuk dengan lidi. Setelah berbulan- bulan seperti itu dan memfokuskan pikirannya hanya untuk membeli kamus bahasa Inggris untuk anaknya, akhirnya Zamzami punya uang lebih. Dengan gembira ia sampaikan kepada putrinya.
            “mulai sekarang, jangan cemas lagi, Nong, Ayah akan belikan kamus untukmu. Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata!”
            Enong terbelalak.
            “sati miliar?” napas tertahan.
            “iya, Nong, tak kurang dari satu miliar kata!”
            Enong tertegun. Wajahnya pucat pasi. Ia terpana karena akan segera punya kamus dan karena kamus itu berisi satu miliar kata! Lalu, ia saling menyentuh ujung- ujung jarinya dan mulutnya komat- kamit menghitung jumlah nol dalam satu miliar.
            “satu miliar itu banyak sekali, Nong. Ayah pun tak tahu berapa jumlah nolnya. Tujuh belas barangkali”
            Enong masih tetap tertegun. Mulutnya masih komat- kamit dan jarinya masih sibuk menghitung jumlah nol dalam angka satu miliar.
Esoknya, mata Enong merah. Zamzami tahu, anaknya pasti tak bisa tidur karena terus- menerus membayangkan kamus itu. Maka, tanpa ambil tempo, ia segera mengajak Sirun ke Tanjong Pandan. Mereka bersepeda hampir seratus kilometer.
            Senangnya Zamzami mendapati kamus yang dilihatnya dulu masih ada di pedagang kaki lima buku bekas. Terbayang sinar mata anaknya saat menerima kamus itu. Ia menimang- nimangnya dan terkagum- kagum pada tulisan disampulnya Kamus Bahasa inggris Satu Miliar 1.000.000.000 Kata. Diikutinya pelan- pelan jumlah nol itu. Baru ia tahu bahwa jumlah nol dalam satu miliar ada sembilan.
            Zamzami sempat heran melihat kamus itu ternyata ringan dan tipis saja. Padahal,, isinya satu miliar kata. Jiwanya yang lugu berkata, mungkin yang dimaksud pengarang buku itu bukan kata, tapi huruf. Pengarangnya mungkin salah tulis, seharusnya satu miliar huruf. Tapi, andaikata jumlah huruf pun masih tetaplah buku itu terlalu tipis. Sekali lagi hatinya yang putih tetap saja membela penyusun kamus itu, Drs. Ir. Siapa, M.B.A., B.A., yang sama sekali tak dikenalnya.
            “kurasa buku ini macam buku Kho Phing Hoo, Run,”katanya pada Sirun.
            “ini pasti baru jilid satu. Nanti kalau sudah lengkap empat puluh delapan jilid, barulah jumlah katanya tergapai satu miliar. Macam mana pendapatmu, Run?”
            “kemungkinan besar, Bang.”
            Jika menyangkut buku, Sirun serupa tikus mendengar pembicaraan ayam. Gelap, soal begitu, ia akan percaya pada apa pun yang dikatakan oleh siapa pun sebab ia tak pernah sekolah.
            “tak apalah, berarti aku masih harus menabung. Bukan begitu, Run?”
            Zamzami malah senang karena akan memiliki 48 jilid kamus. Baginya, kamus- kamus itu dapat menjadi koleksi yang berharga. Mungkin pula ia berpikir, semakin banyak ia dapat membelikannya anaknya kamus, semakin anaknya akan senang. Ia juga kagum pada orang yang mampu membuat kamus. Ia menatap gelar deretean gelar sarjana Drs. Siapa yang menyusun kamus itu sambil membayangkan anaknya menjadi guru bahasa Inggris.
            “Enong bisa menjadi guru bahasa Inggris yang baik dengan kamus ini, Run.”
            Sirun mengangguk- angguk dengan Khidmat.
            “kemungkinan besar, Bang.”
            Pedagang buku bekas kaki lima tertarik melihat semangat Zamzami, yang tampak seperti baru menemukan benda ajaib. Ia bertanya, mengapa begitu riang?
            “Buku ini untuk anakku, Pak Cik.”
            “berarti hadiah untuk anak. Biar lebih berkesan, orang di kota biasa menulis sesuatu di halaman muka. Tanda tangan, ucapan salam, ucapan selamat ulang tahun, atau apa saja.”
            “begitukah?”
            “anak perempuankah?”
            “Iya, Pak Cik, sudah kelas enam.”
            “Elok kalau disampuli pakai kertas kado yang cantik. Anak perempuan akan senang hatinya.”
            Mata Zamzami berbinar- binar. Ia pergi sebentar, lalu kembali mebawa kertas kado dan menyampulinya di depan pedagang kaki lima itu. Kemudian, dia minta diajaei cara menulis ucapan di halaman muka itu. Setelah berunding cukup lama, ia menemukan kalimat yang ingin ditulisnya. Ia mengukirnya dengan pena, kata demi kata.
            Sementara itu, Enong hilir mudik di beranda menunggu ayahnya kembali dari Tanjong Pandan. Seharian ia tak enak makan karena piirannya tak dapat lepas dari Kamus Satu Miliar Kata itu. Ketika ayahnya tiba, ia menyongsongnya di pekarangan. Ia melonjak- lonjak senang menerima kamus itu.
            “ini baru jilid satu, Nong. Nanti kalau ada sambungannya Ayah beli lagi,” kata ayahnya sambil menyeka keringat.
            Zamzami pun gembira karena pendapat pedagang buku bekas kaki lima itu semuanya benar. Enong berulang kali memuji indahnya sampul kamus itu. Zamzami mengatakan bahwa ia sendiri yang memilih kertas sampul itu dan ada tulisan untuk Enong di halaman muka. Enong membukanya dan menemukan tulisan itu. Ia membacanya
            Buku ini untuk anakku, Enong.
            Kamus satu miliar kata.
            Cukuplah untuk bisa menjadi guru bahasa Inggris
Seperti Ibu Nizam.
Kejarlah cita- citamu, jangan menyerah, semoga sukses.
Tertanda
Ayahmu
           
            Enong terdiam, lalu ia menangis untuk sebuah alasan yang ia tidak mengerti.

Sumber : Novel Dwilogi Padang Bulan (Karya Andrea Hirata)