Mozaik 1
Lelaki Penyayang
Syalimah Gembira karena suaminya mengatakan akan memberinya hadiah kejutan. Syalimah tak tahan.
“aih, janganlah bersenda gurau, Pak Cik. Kita ini orang miskin. Orang miskin tak kenal kejutan.
Mereka tersenyum.
“kejutan- kejutan begitu, kebiasaan orang kaya. Orang macam kita, ni ? Saban hari terkejut. Datanglah ke pasar kalau pak cik tak percaya.”
Suaminya- Zamzami – tahu benar maksud istrinya. Harga- harga selalu membuat mereka terperanjat.
“telah lama kau minta,” kata suaminya dengan lembut.
Syalimah kian ingin tahu. Waktu mengantar suaminya ke pekarangan dan menyampirkan bungkus rantang bekal makanan di setang sepeda, ia bertanya lagi, Zamzami tetap tak menjawab.
“sudah bertahun- tahun kau inginkan, baru bisa kubelikan sekarang, maaf.”
Zamzami meninggalkan pekarangan, namun kembali. Ia mengatakan ingin mengajak Syalimah melihat- lihat bendungan.
“apa Yahnong takkan bekerja?”
Yahnong, singkatan untuk ayah bagi anak tertua mereka, Enong. Kebiasaan orang Melayu menyatakan sayang pada anak tertua dengan menggabungkan nama ayah dan nama anak tertua itu.
“sudah lama aku tak memboncengmu naik sepeda”
Bendungan itu tak jauh dari rumah mereka. Dulu dipakai Belanda untuk membendung aliran anak- anak Sungai Linggang agar kapal keruk dapat beroperasi. Sampai disana mereka hanya diam memandangi permukaan danau yang tenang. Tak bicara, seperti mereka dulu sering bertemu di sini.
Mereka pulang. Zamzami berangkat kerja. Syalimah tak memikirkan soal kejutan itu. Ia bahkan lupa pernah meminta apa pada suaminya. Delapan belas tahun mereka telah berumah tangga, baru kali ini suaminya akan memberi kejutan. Semua hal, dalam keluarga mereka yang sederhana, amat gampang diduga. Penghasilan beberapa ribu rupiah mendulang timah, cukup untuk membeli beras beberapa kilogram, untuk menyambung hidup beberapa hari. Semuany difahami Syalimah di luar kepala. Tak ada rahasia, tak ada yang tak biasa, dan tak ada harapan muluk- muluk. Tahu- tahu, macam bakung berbunga di musim kemarau, suaminya ingin memberinya kejutan.
Syalimah dan Zamzami berjumpa waktu pengajian ketika mereka masih remaja. Zamzami yang pemalu, begitu pula Syalimah, menyimpan rasa suka diam- diam. Zamzami tak pernah berani mengatakan maksud hatinya, dan Syalimah takut menempatkan dirinya pada suatu keadaan sehingga lelaki lugu itu dapat mendekatinya.
Namun, lirikan curi- curi di tengah keramaian itu kian hari kian tak tertahankan. Zamzami mengurangi kecepatannya menambah juz mengaji, padahal ia membaca Alqur’an lebih baik daripada ia membaca huruf latin. Tujuannya agar semakin lama berada dalam kelas yang sama dengan Syalimah. Berulang kali ditanyakannya pada ustaz hal- hal yang ia sudah tahu. Dibentak bebal ia tersenyum sambil menunduk. Sedangkan Syalimah, berpura-pura bodoh membaca tajwid, dimarahi ustaz, biarlah. Maksudnya serupa dengan maksud Zamzami. Semua taktik yang merugikan diri sendiri itu, jika boleh disebut cinta, itulah cinta.
Sungguh indah, atas saran ustaz- lantaran mencium gelagat yang tak beres antara dua murid mengaji yang tak tahu cara mengungkapkan cinta itu- mereka malah dijodohkan orangtua masing- masing.
Sejak mengenal Zamzami, Syalimah tahu ia akan bahagia hidup bersama lelaki itu, meski, ia juga mafhum, ada satu hal yang harus ia hindari : minta dibelikan apapun sebab lelaki baik hati yang dicintainya itu hanyalah lelaki miskin yang berasal dari keluarga pendulang timah. Namun Syalimah tak perlu dibelikan harta benda sebab Zamzami adalah harta yang paling berharga, melebihi segalanya. Lelaki itu amat penyayang pada keluarga sehingga Syalimah tak memerlukan harta apapun lagi di dunia ini.
Menjelang tengah hari, sebuah mobil pikap berhenti di depan rumah. Dua lelaki mengangkat benda yang dibungkus terpal dari bak mobil itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Syalimah bertanya- tanya mereka tak mau menjawab.
“malam ini ada pasar malam di Manggar, Mak Cik.” Kata salah satu lelaki itu sambil tersenyum.
Syalimah memandangi benda itu dengan gugup, tapi gembira. Pasti benda itu yang dimaksud suaminya dengan kejutan. Rupanya sungguh luar biasa pengaruh sebuah kejutan. Kucing- kucingnya yang lucu melingkari benda itu, menggodanya untuk mendekat. Syalimah melangkah maju, namun di tengah jalan, ia ragu. Ia kembali ke ambang pintu.
Syalimah menertawakan kelakuannya sendiri karena keranjingan menikmati sensasi sebuah kejutan. Lalu, ia berpikir, kejutan itu tak sanggup ia atasi dan terlalu indah untuk dinikmati sendiri. Ia akan menunggu Enong, putri tertuanya itu, pulang dari sekolah. Mereka akan menikmati kejutan itu berdua. Tentu akan sangat menyenangkan.
Namun, Syalimah tak tahan untuk segera tahu apa yang dibelikan suaminta untuknya, sedangkan Enong baru akan pulang sore nanti. Sesekali ia melongok ke arah benda yang misterius itu. Ia memberanikan diri dan melangkah pelan mendekatinya. Di depan benda itu jantungnya berdebar- debar. Ia memejamkan mata dan menarik terpal. Ia membuka matanya dan terkejut tak kepalang melihat sesuatu berkilauan : sepeda Sim King made in RRC!
Syalimah terhenyak. Ia tak menyangka sepeda itu dihadiahkan Zamzami untuknya sebagai kejutan. Bukan hanya karena sepeda itu akan menjadi benda paling mahal di rumah mereka, melainkan karena ia memintanya hampir empat tahun silam. Itupun sesungguhnya bukan meminta. Waktu mengandung anak bungsunya, ia berkisah pada Zamzami, betapa dulu ia bahagia sering dibonceng almarhum ayahnya naik sepeda ke pasar malam, dan disana dibelikan balon gas.
“Kalau anak ini lahir,” kata Syalimah bercanda. ”Sepeda itu tak cukup lagi untuk membonceng anak- anak ke pasar malam.” Karena anak mereka akan menjadi empat, sedangkan mereka hanya punya dua sepeda reyot.
Syalimah tak dapat menahan air matanya. Ia terharu mengenang suaminya telah menyimpan percakapan itu selama bertahun- tahun dan memegannya sebagai sebuah permintaan. Betapa baik hati lelaki itu. Lalu, Syalimah terisak begitu teringat bahwa hari itu Sabtu dan malam nanti ada pasar malam di Manggar. Kini ia paham maksud lelaki yang mengantarkan sepeda itu. Suaminya pasti merencanakan berangkat sekeluarga naik sepeda ke pasar malam, seperti dulu ayah Syalimah selalu memboncengnya naik sepeda ke pasar malam.
Selanjutnya, Syalimah hilir mudik di dapur menghitung bagaimana membagi anak- anaknya pada tiga sepeda. Sang ayah, satu- satunya lelaki di dalam keluarga, berarti yang paling kuat, akan membeonceng keranjang pempang dan di dalamnya akan dimasukkan si nomor dua, gadis kecil yang bongsor itu.
Si nomor tiga, yang cerewet, akan dibonceng oleh kakaknya, Enong, dan si bungsu akan dibonceng Ibu, naik sepeda baru Sim King made in RRC, hadiah kejutan itu. Tak terperikan bahagianya perjalanan ke pasar malam nanti. Meski telah menetapkan pengaturan pembagian sepeda, Syalimah berulang kali menghitungnya di dalam hati, karena perhitungan itu menimbulkan perasaan indah dalam hatinya.
Kemudian Syalimah tak sabar menunggu suaminya pulang. Ia berdiri di ambang jendela, tak lepas memandangi langit yang mendung dan ujung jalan yang kosong ia ingin segera melihat suaminya berbelok di pertigaan di ujung jalan sana, pulang menuju rumah. Ia akan menyongsongnya di pekarangan dan mengatakan betapa indahnya sebuah kejutan. Ia mau mengatakan pula bahwa mulai saat itu mereka harus lebih sering memberi kejutan karena kejutan ternyata indah.
Syalimah gembira melihat seseorang bersepeda dengan cepat. Jika orang itu-Sirun- telah pulang, pasti suaminya segera pula pulang. Namun, sirun berbelok menuju rumah Syalimah dengan tergesa- gesa. Buruh kasar itu langsung masuk dan dengan gemetar mengatakan telah terjadi kecelakaan. Zamzami tertimbun tanah. Syalimah terpaku di tempatnya berdiri. Napasnya tercekat. Ia tak bisa berbuat apa- apa. Sirun memintanya menitipkan anak- anaknya kepada tetangga dan mengajaknya ikut ke tambang.
Sampai disana, Syalimah melihat orang berteriak- teriak panik dan menggunakan alat apa saja untuk menggali tanah yang menimbun Zamzami. Para penambang yang tak punya cangkul menggali dengan tangannya, secepat- cepatnya. Syalimah berlari dan bergabung dengan mereka. Ia menggali tanah dengan tangannya sambil tersedak- sedak memanggil suaminya. Keadaan menjadi semakin sulit karena hujan turun. Tanah yang sedang menimbun Zamzami berubah menjadi lumpur. Para penambang berebut dengan waktu. Jika terlambat Zamzami pasti tak tertolongdan Zamzami mulai memasuki saat- saat tak tertolong itu. Syalimah menggali seperti orang lupa diri sambil menangis, sampai berdarah ujung- ujung jarinya. Ia berdoa agar Zamzami tertimbun dalam keadaan tertelungkup. Penambang yang tertimbun dalam keadaan tertentang tak pernah dapat diselamatkan. Galian semakin dalam, Zamzami belum tampak juga. Tiba- tiba Syalimah melihat sesuatu. Ia menjerit.
“ini tangannya! ini tangannya!”
Orang- orang menghambur ke arah tangan itu. Syalimah gemetar karena tangan yang menjulur itu terbuka. Suaminya telah tertimbun dalam keadaan telentang. Para penambang cepat- cepat menarik Zamzami. Ketika berhasil ditarik, lelaki kurus itu tampak seperti tak bertulang. Tubuhnya telah patah. Pakaiannya compang- camping menyedihkan. Zamzami diam tak bergerak. Semuany telah terlambat.
Syalimah tersedu- sedan. Ia bersimpuh di samping Zamzami yang telah mati. Ia mengangkat kepala suaminya ke atas pangkuannya. Kepala itu terkulai seperti ingin bersandar. Syalimah membasuh wajah Zamzami dengan air hujan, lalu tampak seraut wajah yang pias dan sepasang mata yang lugu. Syalimah mendekap lelaki penyayang itu kuat-kuat. Ia meratap- ratap memanggil- manggil suaminya.
Mozaik 2
Bahasa Inggris
SELAIN MENGGABUNGKAN nama ayah dan nama anak tertua, orang melayu udik biasa menamai anak dengan bunyi senada seirama. Jika nama anak tertua Murad, misalnya, tujuh orang adik di bawahnya Munzir, Muntaha, Munawaroh, Mun’im, dan Munmun. Lantaran anak sangat banyak, hal itu kerap menimbulkan kekacauan. Seringkali nama- nama itu tertukar. Dalam keadaan panik, umpama, salah satu anak menyiramkan minyak tanah pada kambing yang akan dikurbankan pada hari raya Idul Adha, dalam rangka membuat obor- ini berdasarkan pengalaman pribadiku- ibunya hanya bisa berteriak- teriak histeris, “Mun! Mun! Mun!” sambil berpikir keras mengingat- ingat Mun yang mana yang berkelakuan macam setan itu.
Ajaibnya budaya. Selidik punya selidik, ternyata hubungan awal nama anak tak sering ada hubungannya dengan huruf awal nama ayah-ibunya. Artinya, huruf awal itu dipilih secara random saja sesuai suasana hati. Maka dapat disimpulkan, bagi orang Melayu kampung, kekacauan itu disengaja dan merupakan bagian dari seni punya anak banyak, serta merupakan bagian dari kasih sayang nan tak terperikan pada anak- anak yang berderet-deret macam pagar itu.
Lalu, ada pula kebiasaan yang unik. Anak muda sering dipanggil Boi. Ini tak ada hubungannya dengan Boydalam bahasa Inggris sebab anak perempuan pun sering dipanggil Boi . Namun, Enong adalah kisah yang berbeda. Enong adalah panggilan sayang untuk anak perempuan. Begitulah cara Zamzami memanggil anak tertuanya.
Enong duduk di kelas enam SD dan merupakan siswa yang cerda. Sejak kelas satu, ia selalu menjadi juara kelas. Pelajaran pavoritnya adalah bahasa Inggris dan cita- citany ingin menjadi guru seperti Bu Nizam.
Ibu Nizam, guru senior dari Pematang Siantar. Puluhan tahun lampau, ia ditempatkan pemerintah untuk mengajar di kampung kami. Ia sangat dihormati karena keberaniannya merantau demikian jauh dalam usia yang sangat muda, demi pendidikan. Dialah guru bahasa Inggris pertama di kampung kami.
Zamzami amat bangga dengan cita- cita Enong. Ia Enong mendapat kesempatan pendidikan setinggi- tingginya. Sekolah Enong adalah nomor satu baginya. Selelah apapun bekerja, ia tak pernah lupa menjemput Enong. Sering Zamzami bercerita pada Sirun.
“Run, dapatkah kau bayangkan, anakku mau menjadi guru sebuah bahasa dari Barat?”
Sirun takjub
“kita ini, Run, bahasa Indonesia pun tak lancar.”
“Bahasa dari Barat? Bukan main, Bang, bukan main.”
Kemungkinan menjadi gurudari sebuah bahasa yang asing dari Barat itu pula yang membuat Zamzami tak pernah mengeluh meski harus bekerja membanting tulang seperti kuda beban. Ia berusaha memenuhi apa pun yang diperlukan Enong untuk cita- cita hebatnya itu.
Zamzami sering mendengar Enong berbicara soal kamus bahasa Inggris. Dari nada suaranya, ia tahu putrinya ingin sekali punya kamus. Sebaliknya, meskipun masih kecil, Enong paham ayahnya miskin. Ia tak pernah minta dibelikan kamus, tak pernah minta dibelikan apapun.
Zamzami sendiri pernah melihat kamus yang hebat di pedagang buku bekas kaki lima Tanjung Pandan. Kamus itu adalah Kamus Satu Miliar kata. Sejak melihat kamus itu dan mengenang keingingan putrinya, membeli kamus telah menjadi impian Zamzami dari hari ke hari. Ia bekerja lebih keras di ladang tambang dan menambah penghasilan dengan berjualan air nira setiap ada pertunjukkan orkes Melayu. Hari Sabtu ia ke laut mencari kerang untuk dijual di pasar ikan. Hari minggu ia berjualan tebu yang ditusuk dengan lidi. Setelah berbulan- bulan seperti itu dan memfokuskan pikirannya hanya untuk membeli kamus bahasa Inggris untuk anaknya, akhirnya Zamzami punya uang lebih. Dengan gembira ia sampaikan kepada putrinya.
“mulai sekarang, jangan cemas lagi, Nong, Ayah akan belikan kamus untukmu. Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata!”
Enong terbelalak.
“sati miliar?” napas tertahan.
“iya, Nong, tak kurang dari satu miliar kata!”
Enong tertegun. Wajahnya pucat pasi. Ia terpana karena akan segera punya kamus dan karena kamus itu berisi satu miliar kata! Lalu, ia saling menyentuh ujung- ujung jarinya dan mulutnya komat- kamit menghitung jumlah nol dalam satu miliar.
“satu miliar itu banyak sekali, Nong. Ayah pun tak tahu berapa jumlah nolnya. Tujuh belas barangkali”
Enong masih tetap tertegun. Mulutnya masih komat- kamit dan jarinya masih sibuk menghitung jumlah nol dalam angka satu miliar.
⻉
Esoknya, mata Enong merah. Zamzami tahu, anaknya pasti tak bisa tidur karena terus- menerus membayangkan kamus itu. Maka, tanpa ambil tempo, ia segera mengajak Sirun ke Tanjong Pandan. Mereka bersepeda hampir seratus kilometer.
Senangnya Zamzami mendapati kamus yang dilihatnya dulu masih ada di pedagang kaki lima buku bekas. Terbayang sinar mata anaknya saat menerima kamus itu. Ia menimang- nimangnya dan terkagum- kagum pada tulisan disampulnya Kamus Bahasa inggris Satu Miliar 1.000.000.000 Kata. Diikutinya pelan- pelan jumlah nol itu. Baru ia tahu bahwa jumlah nol dalam satu miliar ada sembilan.
Zamzami sempat heran melihat kamus itu ternyata ringan dan tipis saja. Padahal,, isinya satu miliar kata. Jiwanya yang lugu berkata, mungkin yang dimaksud pengarang buku itu bukan kata, tapi huruf. Pengarangnya mungkin salah tulis, seharusnya satu miliar huruf. Tapi, andaikata jumlah huruf pun masih tetaplah buku itu terlalu tipis. Sekali lagi hatinya yang putih tetap saja membela penyusun kamus itu, Drs. Ir. Siapa, M.B.A., B.A., yang sama sekali tak dikenalnya.
“kurasa buku ini macam buku Kho Phing Hoo, Run,”katanya pada Sirun.
“ini pasti baru jilid satu. Nanti kalau sudah lengkap empat puluh delapan jilid, barulah jumlah katanya tergapai satu miliar. Macam mana pendapatmu, Run?”
“kemungkinan besar, Bang.”
Jika menyangkut buku, Sirun serupa tikus mendengar pembicaraan ayam. Gelap, soal begitu, ia akan percaya pada apa pun yang dikatakan oleh siapa pun sebab ia tak pernah sekolah.
“tak apalah, berarti aku masih harus menabung. Bukan begitu, Run?”
Zamzami malah senang karena akan memiliki 48 jilid kamus. Baginya, kamus- kamus itu dapat menjadi koleksi yang berharga. Mungkin pula ia berpikir, semakin banyak ia dapat membelikannya anaknya kamus, semakin anaknya akan senang. Ia juga kagum pada orang yang mampu membuat kamus. Ia menatap gelar deretean gelar sarjana Drs. Siapa yang menyusun kamus itu sambil membayangkan anaknya menjadi guru bahasa Inggris.
“Enong bisa menjadi guru bahasa Inggris yang baik dengan kamus ini, Run.”
Sirun mengangguk- angguk dengan Khidmat.
“kemungkinan besar, Bang.”
Pedagang buku bekas kaki lima tertarik melihat semangat Zamzami, yang tampak seperti baru menemukan benda ajaib. Ia bertanya, mengapa begitu riang?
“Buku ini untuk anakku, Pak Cik.”
“berarti hadiah untuk anak. Biar lebih berkesan, orang di kota biasa menulis sesuatu di halaman muka. Tanda tangan, ucapan salam, ucapan selamat ulang tahun, atau apa saja.”
“begitukah?”
“anak perempuankah?”
“Iya, Pak Cik, sudah kelas enam.”
“Elok kalau disampuli pakai kertas kado yang cantik. Anak perempuan akan senang hatinya.”
Mata Zamzami berbinar- binar. Ia pergi sebentar, lalu kembali mebawa kertas kado dan menyampulinya di depan pedagang kaki lima itu. Kemudian, dia minta diajaei cara menulis ucapan di halaman muka itu. Setelah berunding cukup lama, ia menemukan kalimat yang ingin ditulisnya. Ia mengukirnya dengan pena, kata demi kata.
Sementara itu, Enong hilir mudik di beranda menunggu ayahnya kembali dari Tanjong Pandan. Seharian ia tak enak makan karena piirannya tak dapat lepas dari Kamus Satu Miliar Kata itu. Ketika ayahnya tiba, ia menyongsongnya di pekarangan. Ia melonjak- lonjak senang menerima kamus itu.
“ini baru jilid satu, Nong. Nanti kalau ada sambungannya Ayah beli lagi,” kata ayahnya sambil menyeka keringat.
Zamzami pun gembira karena pendapat pedagang buku bekas kaki lima itu semuanya benar. Enong berulang kali memuji indahnya sampul kamus itu. Zamzami mengatakan bahwa ia sendiri yang memilih kertas sampul itu dan ada tulisan untuk Enong di halaman muka. Enong membukanya dan menemukan tulisan itu. Ia membacanya
Buku ini untuk anakku, Enong.
Kamus satu miliar kata.
Cukuplah untuk bisa menjadi guru bahasa Inggris
Seperti Ibu Nizam.
Kejarlah cita- citamu, jangan menyerah, semoga sukses.
Tertanda
Ayahmu
Sumber : Novel Dwilogi Padang Bulan (Karya Andrea Hirata)
0 komentar :
Posting Komentar