Jumat, 06 Januari 2012

Puncak Langkisau, Painan, Sumatera Barat
Bagi sebagian besar orang melayu tidak di Belitong, di Bangka, di Jambi, ataupun di Sumatera Selatan atau di mana pun, memberi gelar kepada seseorang seperti sudah merupakan keharusan, maka jangan coba-coba bertingkah aneh atau melakukan hal gila yang tidak wajar maka gelar terbaik akan melekat seumur hidup dan jangan pernah sesali karena itulah budaya yang terbentuk secara alamiah. Bahkan ketika kita hanya menjadi orang paling pendiam sekalipun sudah pasti akan ada penyematan gelar kehormatan akbar yang akan mereka berikan. Di kampungku yang pelosok sangat itu, bahkan tidak jarang orang tidak mengenal nama asli sang pemilik gelar karena sehari-hari mereka hanya memanggil gelar suka-suka. Pemuda gagah ada yang dipanggil ayam potong hanya karena tungkai yang besar itu tak pacak bermain sepakbola, ada juga yang dipanggil Bengap hanya karena telinga sering kurang awas menyambut pesan yang masuk dibawa angin ke dalam gendang telinganya.
Maka tak heran di usiaku yang baru menginjak 24 tahun gelarku sudah lebih banyak daripada rektor sebuah universitas. Gelar yang banyak itu membuat aku tak begitu antusias ketika menyambut gelar sarjanaku. Di kampung bahkan banyak yang tidak tahu bahwa namaku begitu gagah diambil dari pasaran, Hendra Saputra, ah gagah sekali, tapi siapa peduli karena sehari- hari mereka memanggilku Teraut, Teranai. Sejarah nama ini sebenarnya berkaitan dengan nama pasar itu, maklumlah nama pasaran pasti banyak yang memakai. Teraut itu lebih kurang sebutan bagi orang yang memiliki banyak penyakit kulit terutama panu maka jadilah teraut itu pelesetan dari kata menggaruk, sedangkan teranai merupakan pelesetan dari kata Manai sebutan orang melayu udik bagi mereka yang suka makan sambal. Gelar ini secara tidak sengaja dialirkan padaku karena orang yang pertama menyandang gelar ini entah kenapa diberikan nama oleh emaknya sama denganku sehingga aku pun ketularan gelar ilegal secara praktis. Maka jadilah panggilan teraut bahkan ada juga yang memanggil daud. Dan mereka pun mulai lupa bahwa aku pernah diMarhabankan dengan nama pasar yang gagah itu, lebih tepatnya mereka tidak mau tahu. Aku tersanjung dengan nama itu, terima kasih.
Namun berbeda di lingkungan pergaulan panggilanku di rumah sedikit lebih terhormat Kulup, maka tetangga-tetangga memanggilku pun demikian. Tak apalah karena aku lebih suka daripada dipanggil teraut yang menyakitkan itu. Kulup lebih kurang merupakan cara orang melayu memanggil anak laki-laki paling tua, sedangkan anak laki-laki berikutnya biasa dipanggil Bujang. Kulup merupakan representasi bagi segala bentuk kasih sayang dan kehormatan, walaupun bunyinya dalam istilah Biologi agak kurang mengenakan. Kulup merupakan panggilan hormat dari mereka yang lebih kecil terhadap kakak laki-laki paling tua, karena kakak laki-laki berikutnya tak boleh lagi dipanggil kulup akan tetapi dipanggil abang. Kulup juga repsentasi dari hal yang dominan. Maka segala pandanganku tentang kata-kata kulup adalah sesuatu yang positif sampai aku mendengar sebuah lagu jambi berjudul Si Kulup dirilis dalam format DVD, maka semua pandangan positif itu mulai pudar.
Ternyata kulup di kampungku tak sama dengan kulup di tempat lain di beberapa daerah di Jambi ini. Bagi mereka kulup adalah segala bentuk pameo negatif, kulup adalah sebutan bagi orang yang sudah dirancang akan menjadi bujang lapuk, kulup juga sebutan bagi mereka yang selalu bernasib malang, punya utang dimana- mana, punya perjalanan hidup yang tidak jelas, kulup juga sebutan bagi mereka yang memiliki penderitaan bathin yang tak tertanggungkan akibat tak pernah dianggap dalam pergaulan dengan lawan jenis, ditolak mentah-mentah berkali-kali, tapi tetap tak punya malu. Kulup adalah sosok muka tembok yang ditinggalkan zaman. Sengaja aku kutip sebuah lagu agar kalian tak curiga bahwa aku telah memanipulasi hasil Human Observasi pura-puraku kali ini :
Si Kulup dek oi bujang Jauhari
Tunang banamo gadis idaman
Sedang kurindu kaulah pergi
Kau membumbung tinggi di awan

Pada lagu lain juga terdapat lirik :
Ado rang bujang namonyo si kulup, babaju lapang becelano sempit
Jalan melenggang macam main kudo kepang
Ilir mudik tegak pinggang menjual tampang
oi lah si kulup oi lah si bujang lapok
awak nak babini tunang di ambek kanti
oi lah si kulup nak kemano kau kini
anak huluan sungai batanghari

Mendengar syair- syair itu hatiku luruh, kebanggaan atas nama itu mulai berantakkan. Maka seperti takdirnya nama itu sebagai simbol segala bentuk hal-hal minor, maka dia juga pandai benar mencari pewaris sejati dari nama itu yang akan mewarisi segala bentuk penderitaan bathin, menjadi bujang lapuk yang tak laku-laku. Dia mencari dari huluan sungai Batanghari yang jaraknya mencapai 180 KM untuk menemuiku di sebuah pelosok negeri bernama Tanjung Agung yang tak tertera dalam peta ini, mungkinkah kompas Kapten Jack Sparrow yang dia gunakan untuk menemukanku. Entahlah kawan, tapi yang jelas sekarang aku yang sudah tiba-tiba memikul nama itu lengkap dengan seperangkat takdir bujang lapuk yang menjadi tetek bengeknya.
Tapi aku memberontak, aku mau menyandang nama itu dengan penuh rasa hormat tapi aku menolak takdir itu. Aku beritahu kau satu hal, kata TAKDIR itu berasal dari kata QODAR dalam bahasa arab yang mendapat huruf THA tanis di depannya sehingga berubah menjadi Takdir, kuberitahu lagi lebih jauh bahwa huruf THA di depan menunjukkan FI'IL Madi artinya sesuatu yang sudah berlalu atau dalam bahasa Inggris dapatlah disebut Pas Tense. Maka maknanya secara Syarih dapat disebut bahwa takdir itu adalah sesuatu yang layak disebut ketika dia sudah berlalu, artinya ketika belum terjadi semuanya layak diperjuangkan dan dapat dirubah. Maka tak ada istilah menyerah pada takdir, tak ada istilah jika orang mengatakan bahwa kemiskinan yang dia terima merupakan takdir.
Tak usahlah kau tanya darimana aku dapat teori itu, dan tak usah jugalah kau tanya tentang benar atau salahnya, cukuplah ambil sisi positifnya bahwa kita harus berjuang untuk meraih sesuatu dan merubah sesuatu yang akan disebut takdir. Terlepas dari benar atau tidaknya hal senada pernah aku dengar dari seorang ustad bahwa Takdir Allah tidak akan melampaui Sunatullah, artinya seseorang yang ditakdirkan kaya jika sunatullahnya juga berjalan yakni berusaha, orang pintar sunatullahnya belajar. Maka bagiku pun demikian, nama kulup itu akan kupikul dengan bangga tapi aku tak akan menuntut Tuhanku atas keadaanku suatu saat dan mengatakan sebagai takdir karena semua tergantung usahaku, dengan kata lain aku tak akan pernah percaya dengan mitos-mitos yang tidak masuk akal karena aku seorang muslim sejati.
Nama kulup itu membuat aku menjadi mayoritas di kampungku, bahkan di Indonesia aku juga mayoritas karena banyak hal, aku menyukai bola seperti kebanyakan orang Indonesia meskipun sebenarnya tak pandai main bola dan hanya pandai berkomenter maka aku pun menjadi mayoritas. Aku adalah sarjana pengangguran maka aku pun mayoritas karena mayoritas sarjana di negeri ini bernasib sama denganku. Aku berjerawat maka aku juga mayoritas karena itulah iklan produk pembersih jerawat menjamur di negeri ini. Tapi khusus di Sumatera Barat aku adalah minoritas karena banyak hal pula. Orang Minang di Jambi adalah hal yang lazim tapi orang Jambi di Sumatera Barat jelas minoritas karena sebagian besar hanyalah pelajar yang mencoba mengais ilmu di sini. Aku tak punya pasangan maka aku pun minoritas karena sebagian besar orang seumurku di sini memiliki pasangan, walaupun sebenarnya hampir satu dekade aku menunggu. Memang agak berlebihan kalau aku sebut satu dekade tapi bukankah iklan produk kecantikkan di TV juga kesulitan membedakan antara usia 30-an dengan usia menjelang 40, bukankah kalau kita logikakan usia 37, atau 38 adalah usia 30-an juga dan menjelang 40 juga.Entahlah itu kelalaian atau sengaja melucuti penonton yang agak kurang awas dan tertipu untuk membeli. Dibohongi mentah-mentah tapi tidak ada yang protes,begitu juga wewenang ilmiahku untuk mengambil kata dekade tadi semestinya tak ada yang protes.
Aku dipanggil kulup selama ini maka aku pun minoritas karena di sini umumnya orang dipanggil Uda. maka aku agak terkejut ketika ada salah seorang adik kos-kosanku mulai memanggilku uda. Da Hen, hmmm manis juga. setidaknya itu bukti bahwa setelah hampir satu dekade aku merumput di Padang ini kredibilitas bahasa minangku mulai diakui, di samping itu aku juga sudah capek menjadi minoritas dan ingin segera kembali jadi mayoritas maka panggilan Da Hen itu cukuplah bagiku untuk mendongkrak posisi setelah minor dalam banyak hal. Panggilan itu semakin akrab di telingaku dan aku tak asing lagi.
Sampai suatu hari seorang adik kosku memanggil,"Da hen pai bali samba awaklah, ado gulai kuning murah tapi lamak bana ko a". Mendengar kata murah telinga mahasiswaku berdiri dan menangkap dengan cepat apalagi ada samar terdengar kata-kata bahwa gulai kuning murah itu juga enak. Akhirnya aku ikuti tawaran menarik ini, mahasiswa memang selalu mencari yang murah dan kalau bisa diskon sebesar-besarnya. Aku terkejut ternyata tempat yang dimaksud hanya merupakan sebuah pondok mirip pos pemuda dekat rumahku, hanya sepelemparan batu dari pantai, namun jangan ditanya ada berapa banyak mobil yang parkir di depannya. Panggilan gulai kuning dengan alat-alat masak tradisional semacam Belanga menguapkan aroma harum. Sepertinya ini tidak salah, kalau tidak tak mungkin tempat ini ramai.
Belum lagi hilang keterkejutanku akibat banyaknya mobil yang berjejer di depan warung yang agak sedikit lebih baik dari reot ini ternyata aku lebih terkejut lagi dengan pelayanan ramah yang ditunjukkannya, awalnya aku agak segan membeli dalam jumlah sedikit. Memang tak banyak pilihan di sini tapi gulai kuning itu memang mengundang selera, ah Sumatera Barat memang surganya makanan. Kami hanya membungkus gulai hari itu, dan ternyata sensasi rasanya memang berbeda kawan, harga murah yang bahkan hanya setengah harga yang lainnya membuat makan siangku kali ini terasa nikmat. Paduan rempah-rempah serta santan kental khas masakan minang yang berlinang-linang meski berbanding lurus terhadap meningkatnya penderita Hipertensi tetap menjadi pilihan menarik. Kuah kuning yang menggairahkan itu membuat aku selalu ingin bercerita tentang makanan itu.
Ada dua hal yang paling aku suka di negeri si Midun dan Siti Nurbaya ini, pertama menjelajah negeri demi negeri serta mencicipi masakan-masakan enak yang sangat terkenal itu. Aku sekarang berada di pusatnya makanan enak, bahkan rendang yang menurut versi sebuah kantor berita besar dunia menjadi makanan ternikmat itu pusatnya ada di sini. Maka selagi aku di sini ingin kucicipi semuanya, maka tak heran aku selalu tahu tempat makan dengan  harga terjangkau di kota ini, aku pernah makan di tempat paling menarik di kaki Gunung Marapi, di daerah Sungai Tarab, Tanah Datar sana bahkan tahu tempat makan lontong paling enak di Bukit Tinggi, aku jamin kawan kalau kuajak kau akan mengatakan itulah lontong ternikmat yang pernah kau cicipi, akui sajalah.
Aku juga sudah mencicipi makanan di Rumah Makan mewah di kota ini setiap kali terpaksa ikut buka bareng bersama teman- teman, bahkan restoran Jepang yang aku pikir satu-satunya di sini sudah aku kunjungi lebih dari satu kali. Namun saus teriyaki yang terdengar megah itu tak cocok dengan perut sumateraku. Perutku loyo karena memang sejak dulu tak begitu suka makanan manis dan lembek, malamnya aku tak bisa tidur di samping karena memikirkan harga yang nyaris dua kali lipat harga standar itu, perutku ternyata memang tak bisa diajak kompromi, makanan Jepang itu telah membongkar habis rahasia dan identitas serta jati diriku sebenarnya, bahwa aku adalah orang kampung udik norak yang tak cocok dengan makanan modern apalagi makanan impor.



0 komentar :