Rabu, 23 Maret 2011

Mengenal Periodisasi Sastra Indonesia

<p>Your browser does not support iframes.</p> Mengenal Periodisasi Sastra Indonesia
Negara Indonesia dikenal akan kekayaan budayanya-demikian juga dalam bidang literatur. Karya-karya sastra Indonesia begitu beragam, sebagian bahkan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan diedarkan ke luar negeri juga. Mari kita mengenal tahapan sejarah perkembangan sastra Indonesia dari tahun ke tahun, yang dikenal dengan istilah periodiasi sastra Indonesia.

Angkatan Pujangga Lama
Karya sastra Indonesia paling awal muncul pada sebelum abad 20. Ketika itu, bentuk literatur yang ada sangat bernuansa Melayu dengan kultur Islami yang kental. Format karya yang beredar masa ini adalah: syair, pantun, gurindam dan hikayat.
Pusat sastra angakatan Pujangga Lama berada di pesisir Sumatra dan Semenanjung Malaya yang umumnya merupakan pelabuhan dan tempat bertemuanya warga lokal dengan pedagang dari negara lain, sehingga tampak pengaruh Arab dan Melayu yang kuat.
Nama-nama yang berperan saat itu Hamzah Fansuri (Minuman Para Pecinta, Rahasia-rahasia para Gnostik), Syamsuddin Pasai (Cahaya Pada Kehalusan-Kehalusan), dan Nuruddin ar-Raniri (Taman Raja-Raja).

Angkatan Sastra Melayu Lama
Periode ini berlangsung dari 1870-1942, tepat pada masa Nusantara berada di bawah penjajahan Belanda. Maka, tidak heran jika karya-karya sastra yang mewarnai periode ini sebagain berupa terjemahan literatur dari budaya Barat, seperti Around The World in 80 Days-nya Jules Verne, Robinson Crusoe-nya Daniel Defoe, atau The Count of Monte Christo karya Alexandre Dumas.
Namun, bukan berarti tidak ada karya literatur lokal yang dihasilkan; periode ini juga mengenal terbitnya kisah-kisah dalam bahasa lokal (meski sebagian penulisnya orang asing), yang umumhya berkisah mengenai petualangan ke pedalaman eksotik Nusantara.
Ada juga kisah-kisah skandal dalam kehidupan sehari-hari para warga elite kolonial, dan karya-karya yang berpusat pada karakter utama seorang wanita seperti Nyai Dasima, Nyonya Kong Hong Nio, atau Nona Leonie.
Angkatan Balai Pustaka
Kenapa dinamai Balai Pustaka? Pada periode 1920-1930-an ini, Penerbit Balai Pustaka (yang sampai hari ini pun masih kita kenal) menjadi motor pencetak karya-karya sastra asli Indonesia. Kala itu Balai Pustaka mengemban misi melawan karya-karya Melayu yang dinilai porno dan terlalu radikal.
Format karya angkatan ini biasanya berupa roman, novel, cerpen dan drama yang berpusar pada drama kehidupan masyarakat modern dan kerap mengkonflikkannya dengan pandangan konservatif. Karya-karya besar pada periode ini antara lain: Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar, Salah Asuhan oleh Marah Roesli, atau Salah Asuhan karangan Abdul Muis.
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru bergerak dalam periode waktu yang awalnya bertumpukan dengan Balai Pustaka, yakni 1930-1940an; hal ini karena kemunculan angkatan Pujangga Baru itu sendiri merupakan reaksi protes atas sensor yang dilakukan Balai Pustaka terhadap karya sastra bernuansa nasionalis.
Karya-karya besar angkatan ini adalah: Layar Terkembang oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Belenggu oleh Armijn Pane.
Angkatan 1945
Literatur di masa ini tentunya sangat kental dengan tema-tema revolusi dan perjuangan, banyak mengangkat realita hidup masyarakat dibanding angkatan sebelumnya yang lebih berkarakter drama.
Itu sebabnya angkatan ini disebut-sebut membawa ‘darah segar’ dalam dunia sastra saat itu. Karya-karya besar angkatan ini antara lain: Deru Campur Debu oleh Chairil Anwar, Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma oleh Idrus, dan Atheis oleh Achdiat K. Mihardja.
Angkatan 1950 – 1960-an
Pada masa ini, sastra Indonesia telah cukup berkembang, bahkan terdapat media berkarya berupa dua majalah sastra lokal. Namun geliat sastra Indonesia ini juga memiliki efek gelap; mulai muncul konflik antara sastrawan akibat masuknya pengaruh politik.
Karya-karya besar yang muncul pada periode ini: Gadis Pantai oleh Pramudya Ananta Toer, Balada Orang-Orang Tercinta oleh WS Rendra, Dua Dunia oleh NH Dini, Jalan Tak Ada Ujung oleh Mochtar Lubis.
Angkatan 1966 – 1970-an
Setelah peristiwa G30S/PKI tahun 1965, konflik politis terbuka di kalangan sastrawan pun mereda. Para sastrawan mulai meninggalkan karya-karya politis dan beralih pada bentuk tulisan yang lebih beragam, menekankan pada gaya individual tiap pengarang dan keunikan gaya bahasa.
Dominasi Balai Pustaka digeser oleh Penerbit Pustaka Jaya.  Karya-karya besar pada masa itu antara lain: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia oleh Taufik Ismail, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan oleh Umar Kayam, dan sebagainya.
Angkatan 1980 – 1990-an
Satu fenomena menarik yang terjadi pada periode ini adalah kemunculan para sastrawan wanita dan kisah roman yang populer.Banyaknya media distribusi berupa percetakan dan majalah membuat karya sastra Indonesia beredar luas dan dikenal masyarakat umum.
Selain itu muncul juga karya-karya ringan bernuansa komedi untuk remaja, yang membuat kebiasaan membaca menjadi tren di kalangan anak muda. Karya-karya besar pada periode ini antara lain:  Burung-Burung Manyar oleh YB Mangunwijaya, Olenka oleh Budi Darma, Canting oleh Arswendo Atmowiloto, Ca Bau Kan oleh Remy Sylado, dan semua karya Marga T dan Mira W
Angkatan Reformasi
Ketika reformasi bergolak di Indonesia pada 1998, karya-karya sastra bersifat politis mulai muncul lagi. Isi dari cerpen-cerpen atau sajak ini berkisar pada kritik pemerintah Orde Baru dan tuntutan untuk hidup yang lebih baik. Di berbagai komunitas digelar pembacaan sajak-sajak revolusi. 
Selain itu, perkembangan teknologi juga memengaruhi dunia sastra kala itu; internet memunculkan wadah online untuk para sastrawan. Salah satu yang paling terkenal pada era ini adalah kumpulan puisi karya Widji Thukul, aktivis yang hingga hari ini belum diketahui keberadaannya.
Angkatan 2000-an
Dekade ini menyaksikan lahirnya penulis dan karya yang sangat beragam, diiringi kebebasan yang cukup baik untuk berekspresi lewat tulisan, dibandingkan masa Orde Baru. Beberapa karya besar periode ini antara lain: Saman oleh Ayu Utami, Sepotong Senja untuk Pacarku oleh Seno Gumira Ajidarma, dan Supernova oleh Dewi Lestari.

Disadur dari : www.AnneAhira.com

0 komentar :